Hery Susanto: BPJS Kesehatan Salah Urus, RS Belum Ikhlas
jpnn.com, JAKARTA - Ketua KORNAS MP BPJS Hery Susanto, menyebut defisit belasan triliun rupiah yang dialami Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bukan disebabkan oleh kurangnya premi yang dibayarkan peserta, tetapi karena kesalahan sistem.
Hal itu, disampaikan Hery dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "Progres BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA?" di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (12/3).
"Jadi sebelum iuran naik, BPJS Kesehatan sudah defisit. Walaupun naik 100 persen defisit enggak akan hilang. Apa penyebabnya? Kalau saya melihat bukan di premi tetapi lebih kepada sistem, grand design daripada BPJS itu yang sudah salah urus dan salah sistem," kata Hery.
Apa yang salah? Menurut Hery, salah satu persoalannya ialah belum ikhlasnya pihak rumah sakit (RS) dengan pola INA-CBG (Indonesia Case Base Groups), sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk pengajuan klaim pada pemerintah.
Hal itu karena penerapan pola paket pembayaran BPJS Kesehatan dengan model kelompok diagnosis yang dianggap terlalu murah. Hal ini menyebabkan banyaknya permainan di lapangan seperti klaim fiktif.
"KPK sudah merilis ada satu juta klaim fiktif dan sampai sekarang belum bisa dihentikan karena masih berlangsung, dan penyebabnya adalah tidak adanya sanksi hukum yang tegas masih sifatnya administratif," jelas Hery.
Oleh karena itu, pihaknya menilai tidak ada gunanya menaikkan premi atau jumlah iuran selama masih menggunakakn pola pembayaran INA-CBG. Sebab, peluang oknum RS bermain angka sangat tinggi di situ.
Hery menegaskan tidak ada manfaatnya menaikkan premi. Buktinya, setelah naik 100 persen, kemudian pemerintah sudah membayar 3 bulan sebelum akhir tahun 2019 dengan nominal Rp15 triliun tetapi defisit tetap besar.