Imlek, Tahun Anjing Tanah, Usai Penderitaan dan Pergolakan
Budayawan Tionghoa, Lim Ho Tjiang menyebut ada keunikan dalam pembersihan ini. Di daratan Tionghoa sana, membersihkan rupang memakai air teh. Di sini, airnya harum oleh melati. Air leding yang dicampur dengan kembang barenteng.
"Ini yang namanya Sinkretisme. Percampuran antara Budaya Tionghoa dan Budaya Banjar. Air kembang ini kan khas sekali dengan budaya lokal di Kalsel. Percampuran ini bagus sekali," jelas lelaki 62 tahun tersebut.
Ditanya filosofi di balik acara pembersihan rupang, dijelaskannya, pada saat Imlek para dewa di klenteng naik ke Kahyangan. Melaporkan kabar baik dan buruk yang telah terjadi setahun terakhir.
"Tujuh hari sebelum Imlek, para dewa naik ke atas langit. Beres melapor, kembali turun ke bumi. Tepat tiga hari setelah tahun baru," jelas warga Pasar Lama itu.
Dari sekian banyak dewa di klenteng, siapa yang ditugasi pelaporan itu? Tjiang menyebut nama Fu Te Cen Shen. Akrab disapa Tapekong. "Dijuluki sebagai dewa penguasa dunia," sebutnya.
Tapekong membawa laporan yang telah dikumpulkan Cau Kun Kong. "Cau Kun ada di rumah-rumah warga Tionghoa. Julukannya dewa dapur, yang mengurusi rumah tangga. Ibaratnya, dialah anak buah sang dewa penguasa dunia," tukasnya.
Perihal tata cara, Tjiang menyebut tak ada yang khusus. Pastinya, sebelum rupang diangkat dari altar sesembahan, mereka harus membakar dupa dulu.
Ibaratnya meminta permisi. "Kami minta dewa mengosongkan rupang dulu untuk dibersihkan," imbuhnya.