Indef Minta Kemenkeu Batalkan BMAD Demi Selamatkan Ekonomi dan Perdagangan Indonesia
“Jadi, menurut saya dampaknya sudah mulai terasa dan kita harus melihat di sisi lain, daya beli dari masyarakat ini sedang menurun, kelas menengah sedang turun degradasi ke kelas bawah ini menurut saya harus dilihat bahwa kita tidak boleh mengeluarkan regulasi yang pada akhirnya memberikan tekanan terhadap konsumsi dari masyarakat menengah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Andry menyampaikan rencana penerapan BMAD yang awalnya mencapai 200% kini berubah turun menjadi sekitar 40-50 persen pun dipertanyakan.
Sebab mau sekecil apapun tarif yang dipatok harus dibuktikan secara objektif terlebih dahulu bahwa telah terjadi dumping.
“Regulasi itu harus jelas bahkan mau dibuat 10% sekalipun, kecil sekalipun harus terbukti bahwa ternyata memang terbukti dumping sebesar 10%, sehingga kita bisa mengenakan bea masuk 10%, nah ini tidak ada buktinya apa?” ungkapnya.
“Bahkan menurunkan dari 200% ke 50% berarti ini kan hanya regulasi yang dibangun oleh intuisi yang bersifat subjektif bukan objektif, kepercayaan dari para pelaku usaha akan turun pada pemerintah. Oh ternyata regulasi yang dibuat ini semata-mata hanya bersifat subjektif,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Andry menuturkan jangan sampai kemudian pihak China melakukan balasan terhadap produk-produk dalam negeri, itu yang tidak diharapkan terjadi.
“Jangan sampai nanti otoritas dari China mempertanyakan dan pada akhirnya mereka juga membalas pengenaan bea masuk anti dumping untuk produk-produk kita. Padahal kita tidak melakukan dumping. Nah itu yang kami takutkan sih sebetulnya, proses balasan ini yang bisa terjadi,” ujar Andry.
Menurut Andry, sebaiknya KADI membuka data kepada masyarakat bahwa jika memang telah terjadi dumping sampaikan secara objektif dengan angka yang akurat dan transparan.