Infrastruktur dan Fantastika Jokowi
Sebagai orang yang menaruh minat pada urusan pemberdayaan ekonomi dan mendampingi beberapa kerja pemberdayaan ekonomi ketika bergabung di Kementerian Ketenagakerjaan beberapa tahun lalu, saya pun awalnya melihat secara hambar pagelaran pembangunan infrastruktur skala besar yang dipromosikan cukup gegap gempita tersebut, yang menelan biaya yang angkanya sulit dibayangkan orang miskin dan ternyata sebagian dibiayai dengan utang luar negeri.
Pertanyaan yang sering mengganggu adalah, apakah tidak sebaiknya menggunakan uang tersebut untuk proyek-proyek pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil secara langsung?
Pertanyaan terakhir ini menggantung untuk waktu yang lama, dan bersamaan dengan itu juga terus berlangsung diskusi di antara teman-teman yang meminati urusan pemberdayaan masyarakat, tentang “kapan kita bisa membuat capaian-capaian yang meyakinkan dalam urusan pemberdayaan ekonomi, sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan income yang cukup dan stabil bagi masyarakat kecil dari masa ke masa? Kapan kita bisa menciptakan alternatif-alternatif lapangan pekerjaan yang layak dari kerja-kerja pemberdayaan ini?”
Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Jika Pemerintah Pusat terlalu jauh untuk diandalkan dalam mengambil langkah-langkah fasilitasi pemberdayaan ekonomi secara langsung, mestinya Pemerintah Daerah bisa melakukan itu. Tapi harapan itu tidak mudah untuk ditemukan. Hanya beberapa kepala daerah yang mempunyai komitmen yang kuat dan menciptakan prestasi-prestasi pemberdayaan ekonomi yang kelihatan.
Semestinya, kita juga bisa berharap banyak dari pendamping desa, agar dana desa bisa dimanfaatkan secara agak optimal untuk pengembangan produk unggulan desa atau produk unggulan kawasan perdesaan, sampai ke tingkat di mana pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja bisa dihasilkan melalui kerja pemberdayaan ekonomi di jalur Dana Desa ini. Tetapi pendamping desa pada umumnya jauh dari kompetensi pemberdayaan ekonomi atau business development. Satu dua pendamping desa yang kompeten dan memiliki ide pemberdayaan yang mumpuni bahkan juga tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki otoritas yang cukup, bahkan bergantung sepenuhnya pada persetujuan Dinas kabupaten untuk anggaran pemberdayaan yang mereka usulkan bersama Pemerintah Desa.
Beberapa inovasi berbasis masyarakat, dan bukan swasta atau korporasi besar, awalnya tampak meyakinkan, tetapi begitu jalan, terdepak oleh hantaman mafia dagang. Praktik pemasaran bersama dalam menyelamatkan harga komoditi, atau industrialisasi hasil perkebunan skala desa di Nusa Tenggara Timur, misalnya, harus menyesuaikan model bisnisnya karena keterbatasan modal dan skala ekonomi, untuk akhirnya berkembang evolusioner.
Praktik-praktik tersebut, yang pasti banyak berkembang juga di daerah lain, tentu mempunyai arti penting yang tidak boleh diingkari. Namun demikian, mengandalkan ekonomi inovasi berbasis masyarakat untuk menghasilkan impak pendapatan dan lapangan kerja yang cukup, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, dalam jangka waktu yang agak pendek dan dalam skala yang agak besar, tampaknya bukan merupakan pilihan yang mencukupi.
Di titik ini, saya memilih untuk berusaha MEMAHAMI pilihan yang sedang ditekuni oleh Jokowi, untuk menghadirkan kembali jalan transformasi ekonomi melalui penciptaan kondisi bagi bertumbuhnya investasi dan industrialisasi skala korporasi, melalui pengelolaan secara lebih meyakinkan variabel-variabel iklim investasi dan daya saing, yang sebetulnya sudah terang dari satu survei ke survei lainnya.
Variabel-variabel tersebut adalah infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, regulasi terkait investasi, pelayanan perijinan, kebersihan birokrasi dari praktek korupsi, di samping masalah stabilitas politik dan komitmen institusi-institusi politik terhadap jalan transformasi perekonomian ini.