Internal KPK Sebut Setya Novanto Kembali Jadi Tersangka
Tidak hadirnya Setnov dari pemeriksaan KPK kemarin merupakan yang ketiga kalinya. Di pemanggilan sebelumnya, Setnov beralasan menghadiri kegiatan kenegaraan. Yakni, mengunjungi konstituennya di beberapa daerah pemilihan (dapil). Tidak hadirnya Setnov itu menghambat penyidik KPK dalam melengkapi berkas acara pemeriksaan (BAP) di penyidikan e-KTP.
Terpisah, kuasa hukum Setnov Fredrich Yunadi mengaku tidak tahu menahu perihal SPDP yang menyebut nama kliennya. Fredrich mengaku aneh mengapa surat yang memiliki format mirip sprindik itu justru beredar luas. Padahal sifatnya seharusnya rahasia. ”Saya baru baca dari Anda, belum tahu tuh. Aneh kok beredar di media dan saya maupun klien saya tidak tahu,” kata Yunadi saat dihubungi.
Yunadi belum meyakini bahwa Setnov saat ini sudah berstatus tersangka. Biasanya, KPK melalui pimpinan sendiri sudah mengumumkan. Yunadi menilai bahwa surat itu hanya bentuk tekanan dari KPK terhadap kliennya. ”Berarti ada oknum KPK yang membocorkan dong. Itu biasa cara teror yang dilakukan oknum KPK,” ujarnya.
Terkait dengan ketidakhadiran Setnov di pemanggilan ketiga KPK kemarin, Yunadi menyatakan bahwa pihaknya mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 76/PUU-XII/2014. Dalam putusan itu, MK telah membatalkan ketentuan pasal 245 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terkait pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dalam putusan itu, MK membatalkan ketentuan kewajiban penegak hukum meminta ijin pada MKD untuk memeriksa anggota DPR. Namun, MK dalam putusannya menambahkan keterangan pasal 245 ayat 1. Di mana pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden.
"Sangat jelas ayat adalah tentang landasan pada ayat (1) sehingga penafsiran 245 tetap wajib izin tertulis dari presiden,” tandasnya.
Alasan Setnov yang meminta KPK izin presiden itu sejatinya masih menjadi perdebatan. Sebab, di pasal 245 ayat 3 UU MD3 masih tetap berlaku menjadi satu kesatuan makna dengan Pasal 245 ayat (1).
Isi pasal 245 ayat 3 itu mengatur bahwa persetujuan tertulis atau izin presiden untuk memeriksa anggota DPR tidak berlaku bila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, serta disangka dengan pidana khusus.