Jejak - jejak Prajurit TNI di Tapal Batas, Demi Merah Putih
Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Saya bersama empat lainnya. Tiga di antaranya prajurit. Beradu lincah di pematang sawah. Yang dalam masa pemulihan. Tak ada aktivitas. Dipenuhi air, yang konon di beberapa titik mencapai pinggang orang dewasa.
Bukit-bukit memunggungi sawah-sawah itu. Terkadang kami mesti melewati rintangan berupa pagar kawat berduri. Setinggi perut. Atau paha atas. Atau pagar bambu dan kayu. Yang berfungsi untuk mengurung kerbau. Saat masa rehat seperti ini, warga memasukkan kerbau ke sawah. Dibiarkan mandi dan bermain di sana. Pembajakan alami.
BACA JUGA: Kisah Anak Gagal PPDB 2019, Diam di Rumah, Tidak Sekolah
Jalan setapak kian menanjak. Landai, terjal, silih berganti. Seperti berirama. Serupa suara jangkrik sahut-menyahut. Pertanda senja segera tiba. Sekitar 45 menit berpacu dengan mentari yang segera tenggelam di balik bukit. Hujan rintik diam-diam. Kian lama kian deras. Dan tumpah di gapura bambu bercat merah-putih.
Pos itu berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Kerap dibekap cuaca dingin. Mencapai 15-16 derajat Celcius saat malam. Dua kilometer di atasnya, patok perbatasan Indonesia-Malaysia.
Pos Tanjung Karya terdiri dari bangunan-bangunan kayu yang tersebar di lahan sekitar 2 hektare. Paling depan, berdekatan dengan gapura, ada pos jaga. Kemudian surau, barak berisi sepuluh ranjang tingkat dua, tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) empat pintu, ruang data, dapur berserambi plus meja makan panjang, serta menara pantau di sisi paling atas.
Aneka tanaman, didominasi sayur-mayur, menjejali tempat yang tersisa di antara bangunan-bangunan itu. Singkong, cabai, tomat, pepaya, nanas, tebu, daun bawang, labu, dan bebungaan.
“Hiburannya berkebun, Mas,” ujar Komandan Pos Tanjung Karya Lettu Ckm Darmawan. Mereka juga beternak. ”Itu ayamnya untuk dipotong pas mau pulang,” timpal prajurit lainnya sembari tertawa menunjuk peliharaan.