Jelang Tahun Baru, MUI Ajak Masyarakat Merancang Masa Depan
jpnn.com, JAKARTA - Tahun baru sudah di depan mata. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengajak segenap masyarakat untuk melakukan muhasabah (evaluasi) diri dalam memasuki tahun baru. Tahun 2018 harus menjadi tonggak untuk merancang serta menjalani masa depan yang lebih baik, produktif, konstruktif, kualitatif.
“Mari kita melakukan perenungan untuk memaknai pergantian tahun dengan penuh keimanan, ketakwaan dan keikhlasan serta senantiasa mengharap rida Allah SWT dalam suasana hati yang sejuk, tenang dan damai. Seraya berdoa semoga di tahun 2018 kita bisa meningkatkan amal kebajikan agar memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara,” kata Waketum MUI Zainut Tauhid Sa'adi, Sabtu (30/12).
MUI mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk mengembangkan toleransi dan wawasan kebinekaan sejati, menciptakan kehidupan berbangsa yang rukun, harmonis, saling menghormati, saling mencintai serta saling menolong dalam semangat persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah).
Hal itu dilakukan dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa khususnya dalam memasuki 2018 sebagai tahun politik.
“MUI mengajak kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia agar menjadikan Tahun Baru 2018 sebagai tahun kebangkitan di bidang ekonomi dan pendidian," ucapnya.
Dua aspek tersebut menurut Zainut sangat penting dan strategis bagi kemajuan umat Islam untuk tumbuh menjadi kekuatan yang berkualitas, sehingga keberadaannya lebih bermanfaat bagi kemajuan bangsa serta negara.
Islam mengajarkan pemeluknya untuk bertaqwa dan memikirkan masa depan. Allah berfirman, dalam Quran Surat al-Hasyr ayat 18, yang artinya: wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan.
Zainut mengimbau dalam merayakan pergantian tahun baru diisi dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Tidak dilarang untuk bersuka cita dalam merayakan, tapi tetap harus dilakukan dengan cara wajar, tidak berlebihan, boros, sia-sia (tabdzir), dan larut dalam kegembiraan yang berlebihan sehingga menjauhkan diri dari Allah SWT.