Jimly: Tergantung Penilaian Subjektif Presiden
jpnn.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan dari sisi teori hukum, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan UU darurat karena kegentingan yang memaksa. Namun, menurut Jimly, dalam praktiknya tergantung penilaian subjektif presiden lalu kemudian dinilai objektif DPR.
Jimly menyampaikan hal itu saat berbicara dalam diskusi bertajuk “Menakar Kegentingan Makar: Urgensi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas” di Ruang Rapat Fraksi PKB DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (27/9).
Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Lukman Edy, Pimpinan Komisi VIII DPR RI A Malik Haramain, Ketua PP Lakspedam NU, Dr. H. Rumadi.
Pada kesempatan itu, Jimly mengingatkan agar tidak terlalu royal membuat Perppu. Dia menyebutkan, pada era Soeharto selama 32 tahun hanya mengeluarkan 8 Perppu. “Mudah-mudahan di era Presiden Jokowi tidak banyak membuat Perppu,” katanya
Jimly mempertanyakan mengapa pembubaran ormas yang diatur dalam Perppu Ormas tidak melalui mekanisme pengadilan sehingga kalau Perppu Ormas diterima harus ada perubahan sekaligus.
Menurut dia Perppu Ormas harus disikapi dengan bijak misalnya ketentuan pidana didalamnya harus dikritisi namun sebenarnya perppu tersebut tidak terlalu perlu karena peraturan di UU Ormas yang lama sudah lengkap.
“Namun karena sudah menjadi Perppu dan diuji, maka diterima saja dahulu namun langsung diperbaharui,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan Komisi II DPR mengusulkan dua opsi terkait Peraturan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pasalnya, ada beberapa pasal yang dihilangkan dari UU Ormas lama sehingga menimbulkan pertanyaan publik.