Jokowho?
Oleh: Dhimam Abror DjuraidEra sudah berubah, zaman berganti. Tidak ada lagi sensor seperti itu. Namun, muncul sensor lain dalam bentuk yang berbeda. Media-media yang kritis terhadap pemerintah diserang oleh buzzer bayaran dan didown-grade sehingga ratingnya turun.
Model sensor digital seperti ini sama saja jahatnya dengan sensor model Orde Baru. Karena sensor neo-Orba ini banyak media di Indonesia yang tiarap.
Namun, jalan protes tetap terbuka dan banyak alternatif. Para seniman jalanan membuat protes melalui mural atau grafiti di mana-mana. Para street artist itu tahu bahwa mural mereka akan disensor dengan tinta hitam, seperti sensor terhadap berita di masa Orde Baru.
Karena itu, sebelum disensor para seniman jalanan itu sudah mengunggahnya ke media sosial dan memviralkannya ke publik.
Semakin disensor bukannya berhenti, tetapi malah makin banyak versi mural yang bermunculan. Wajah-wajah yang muncul di mural itu bermacam-macam. Ada versi 404 Not Found ada versi 504 Error, dan banyak versi lainnya.
Tidak ada nama dan identitas apa pun yang disebutkan pada mural itu. Aktor-aktor yang ada pada mural itu adalah manusia anonim, tidak beridentitas. Semua orang mungkin mengenali wajahnya, tetapi eksistensinya dianggap tidak ada.
Joko? Joko Siapa, ya? Jokowho? (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru: