Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Jokowho?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 09 September 2021 – 14:03 WIB
Jokowho? - JPNN.COM
Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Joe Biden. Foto: Twitter/jokowi

Membaca judulnya saja sudah bisa bikin kuping merah. Mungkin tidak ada media di Indonesia yang berani melakukannya. Namun, bagi media Barat kritik semacam itu hal yang biasa. Malah mungkin, untuk standar mereka kritik semacam ini dianggap masih cukup halus.

Berita itu menjadi viral di media sosial karena ditwit oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Gus Dur, di akun medsosnya (24/8). Adhie mengatakan bahwa dia mendapat berita itu dari kiriman sahabatnya di Singapura. Selain menyebut Jokowi berubah, narasi berita itu juga menyebut ‘’Democracy is increasingly enfeebled under Jokowi’’ (Demokrasi semakin terlilit utang di bawah Jokowi).

Yang menjadi sorotan Adhie Massardi dari artikel itu adalah plesetan nama Jokowi menjadi ‘’Jokowho?’’ yang ditulis pada upper kop (judul atas) dengan tinta berwarna merah. Hal ini menunjukkan adanya nada kejengkelan dari media itu terhadap seseorang yang punya nama Joko.

Boleh saja orang marah terhadap kritik ini. Namun, harus diingat bahwa media mempunyai kebebasan untuk melakukan kritik, sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial. Di era digital seperti sekarang tentu tidak mungkin mencekal berita-berita kritik semacam itu. Di masa lalu, di era otoritarianisme Orde Baru, berita semacam itu sudah pasti akan disensor.

Tidak hanya disensor, tetapi wartawan yang menulisnya masuk dalam black list, daftar hitam, dan dicekal masuk ke Indonesia. Medianya akan dilarang terbit dan tidak boleh beredar di Indonesia. Kalau toh dibolehkan masuk ke Indonesia berita miring itu akan diblok dengan tinta hitam.

Di masa itu banyak wartawan asing yang dilarang masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah David Jenkins, wartawan The Sydney Morning Herald dari Australia. Jenkins menulis berita investigatif mengenai bisnis keluarga Presiden Soeharto dan menurunkan laporannya secara beseri.

Pemerintah Soeharto marah dan koran itu dilarang masuk ke Indonesia. Jenkins juga masuk dalam daftar cekal. Menteri Penerangan Harmoko, ketika itu, menyebut laporan Jenkins sebagai ‘’jurnalisme alkohol’’. Mungkin Harmoko menyindir Jenkins, atau wartawan Eropa lainnya, yang suka kumpul-kumpul sambil minum alkohol.

Namun, penyebutan itu justru dianggap sebagai pujian terhadap Jenkis, karena laporan jurnalisme alkoholnya benar-benar membuat rezim Orde Baru mabuk.

The Economist, penerbit yang sangat bergengsi, pada edisi akhir Agustus memelesetkan nama Jokowi menjadi Jokowho.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close