Jokowho?
Oleh: Dhimam Abror Djuraidjpnn.com - Biasanya yang suka plesetan itu orang-orang Jogjakarta. Kultur plesetan sudah menjadi trade mark mereka, menjadi cara untuk bertahan hidup, dengan menertawakan sesuatu yang serius menjadi guyonan yang ringan.
Kemampuan menertawakan diri sendiri--atau menjadikan sesuatu yang serius menjadi bahan candaan--adalah bagian dari seni bertahan hidup, the art of survival, yang penting di tengah berbagai kesulitan seperti sekarang ini.
Kali ini yang main plesetan bukan ‘’Priyantun Yogya’’, tetapi media asing dari Eropa yang terbit untuk edisi Singapura, The Economist, penerbit yang sangat bergengsi, pada edisi akhir Agustus lalu memelesetkan nama Jokowi menjadi ‘’Jokowho?’’.
Mungkin ada yang tersinggung oleh plesetan itu. Wajar saja, karena Jokowi adalah pemimpin tertinggi Indonesia.
Namun, karena plesetan itu cerdas dan lucu, mungkin lebih banyak yang tersenyum getir mendengarnya.
Kemampuan membuat humor yang lucu adalah bagian dari ‘’wit’’ atau kecerdasan dari seseorang. Kemampuan mocking (meledek) atau membuat parodi yang lucu, adalah bagian dari kecerdasan dalam melakukan protes yang serius, tapi dengan cara yang santai.
Jokowho adalah paduan dua kata ‘’Joko’’ dan ‘’Who’’. Secara sederhana bisa diterjemahkan menjadi ‘’Joko Siapa?’’. Cara ini lazim dipakai oleh orang Barat untuk mempertanyakan eksistensi seseorang. Cara ini bisa juga menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dikenal, meskipun setiap orang tahu namanya.
Memang ada ironi di situ. Nama Joko tentu dikenal oleh semua orang Indonesia, terutama kalau digandeng dengan ‘’wi’’ di belakangnya.