Kakak Sofwati
Oleh: Dahlan IskanMbak Sofwati jarang pulang. Dia kuliah di IKIP Malang. Entah jurusan apa. Saya hanya bertiga di rumah: bapak, saya, dan Udin –adik bungsu saya.
Ibu sudah lama meninggal. Kakak sulung, mbak Khosiyatun, sudah lama pula merantau ke Samarinda.
Saya belum paham apa itu pembaharuan pemikiran Islam. Yang saya tahu kakak saya itu pintar sekali. Kalau debat tidak mau kalah. Ia seperti Srikandi. Tangkas sekali. Pemberani.
Rok-nya paling pendek di antara orang di desa –kalau lagi pulang. Ketika masih SMA (Muallimat) seragam sekolahnya kebaya, jarit, dan kerudung –yang kerudungnyi lebih sering jatuh ke pundak.
Yang saya benci padanyi: dia tidak mau ber-boso kromo inggil pada ayah. Kromo biasa pun tidak mau.
Kalau bicara dengan ayah dia selalu pakai bahasa ngoko –seperti bicara pada teman. Itu tercela di desa kami. Kakak tidak peduli.
Saya juga tidak suka ini: waktu saya pulang dari mondok sebulan di Kaliwungu, dekat Semarang, ia memeriksa kitab kuning yang saya bawa pulang.
"Isi semua kitab ini bisa kamu pahami hanya dalam satu minggu, kalau bukunya berbahasa Indonesia," katanyi.