Kami Usir dan Jika Perlu Kami Bunuh
Yatim mencontohkan, hutan ulayat yang diwarisi suku Sakai di Keluarga Bathin Sobanga yang dia pimpin sekarang tinggal 300 hektare. Padahal, sebelumnya luasnya mencapai ribuan hektare.
Agar tidak semakin berkurang untuk perkebunan sawit atau kegiatan industri lain, mereka menerapkan hukum adat tegas. Yatim menuturkan, hukum adat itu berbeda untuk pelaku perusakan atau penebangnya dari internal suku Sakai dan orang luar.
Dia menjelaskan, jika ada warga suku Sakai yang kedapatan menebang pohon di tanah ulayat, mereka akan diganjar hukuman menanam pohon kembali.
’’Pelaku penebangan pohon juga didenda uang setara dengan perhiasan emas dengan berat tertentu,’’ ujarnya.
Terkadang mereka menggunakan kotak sirih dari kayu seukuran boks tisu makan untuk menakar emas yang harus dibayar. Semakin tua usia pohon yang ditebang, yang otomatis ukuran kayunya kian besar, denda emas yang harus dibayar pun semakin banyak.
Penentu akhir besaran denda itu adalah rapat adat. Nah, emas tersebut lantas dituang, ditimbang, dan diuangkan. Jika dirupiahkan, sanksi menebang kayu yang sudah berumur tua bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Lalu, bagaimana jika yang menebang pohon adalah orang di luar warga suku Sakai? ’’Kami usir dan jika perlu kami bunuh,’’ tegasnya.
Beratnya sanksi yang harus ditanggung itu terbukti mujarab. Sampai sekarang, tidak ada orang yang berani menebang pohon di hutan. Bahkan, untuk sekadar mengambil kayu untuk renovasi rumah adat pun, warga suku Sakai agak berkeberatan.