Kasus KCN vs KBN Harus Jadi Pelajaran
Pergantian direksi baru KBN memunculkan ketidakpuasan kepemilikkan saham perusahaan pelat merah tersebut di tubuh KCN. Alhasil, terdapat berbagai gangguan atau aksi sepihak yang dilancarkan KBN sehingga mengganggu pembangunan Terminal Umum Marunda, meliputi Pier I, II, dan III.
Sebagaimana rekomendasi Pokja IV Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi yang ikut terlibat menyelesaikan sengketa, bahwa perseteruan keduanya tak boleh menghambat pembangunan. KBN harus menghentikan aksi sepihak, dan keduanya perlu membuat proposal perdamaian.
Namun hingga kini, sengketa itu malah masuk ke ranah hukum perdata. KBN melayangkan gugatan kepada KCN, Kemenhub, dan KTU yang selanjutnya diputus menang oleh PN Jakarta Utara pada 9 Agustus 2018 lalu.
Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai sengketa antara KBN dan KCN mmerupakan hal yang paling ditakutkan investor swasta.
Terdapat ketidakonsistenan kebijakan pemerintah yang menyebabkan investor limbung terkait masa depan proyek kerjasama.
“Dalam kasus KCN, kebijakan pemerintah maupun keputusan direksi bisa diubah sewaktu ada pergantian pemerintahan ataupun direksi, padahal swasta telah menghitung besaran investasi dan return dalam jangka panjang,” tegasnya.
Gugatan KBN mencecar pula kebijakan dan kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atas konsesi yang diberikan kepada KCN.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang juga terseret dalam sengketa KBN-KCN menginginkan adanya rekonsiliasi. Menurutnya, putusan hukum mempunyai konsekuensi yang mutlak sehingga harus dipatuhi semua pihak.
“Kami melakukan banding, tapi alangkah lebih baik bila ada rekonsiliasi, karena ini menyangkut kerjasama dengan swasta (investor), pemerintah mendukung peran swasta yang lebih besar,” ungkapnya.
Sementara itu, Menko Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan mengingatkan permasalahan KBN versus KCN tidak boleh terjadi lagi.