Kebijakan Kemenkes Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dipertanyakan, RPMK Dikritik
"Beberapa negara yang menerapkan penyeragaman kemasan/kemasan polos terbukti tidak secara drastis menurunkan angka perokok aktif. Yang terjadi justru peredaran rokok illegal makin meningkat. Dampak lain, penerimaan cukai negara turun, serta melahirkan kemiskinan baru," tegas Agus Parmuji.
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS yang menyatakan ketidakpuasan atas RPMK yang merupakan aturan turunan dari PP 28/2024.
Menurutnya, aturan tidak mengakomodir masukan dari tenaga kerja. Sudarto menilai bahwa polemik dalam PP 28/2024 dan RPMK menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memperkirakan dampak ekonomi dari regulasi tersebut terhadap pekerja dan industri.
Dia khawatir banyak buruh akan menjadi korban PHK jika kebijakan ini diterapkan. Agus menekankan pentingnya memperhitungkan dampak kebijakan terhadap tenaga kerja dan sektor terkait.
Kekhawatiran Sudarto ini juga tercermin dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengingatkan adanya ancaman badai PHK pada tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan saat menghadiri Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Solo Agustus lalu.
Jokowi menyebut bahwa dampak ancaman ini bisa menyebabkan hilangnya 85 juta pekerjaan, di saat Indonesia sedang menyambut bonus demografi 2030 yang memerlukan banyak lapangan pekerjaan.
Sementara Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE), Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah mengatakan industri tembakau ini melibatkan berbagai pihak yang di dalamnya yang bergantung produksi tembakau.
Dia mengatakan adanya aturan kemasan polos rokok dapat menurunkan daya saing produk. Sebab, dapat menghilangkan identitas visual dan branding dari industri rokok legal.