Kiai dan Jabatan
Oleh: Yahya C. Staquf*Adalah para politikus yang punya agenda itu. Sebab, mereka khawatir dalam konferwil tersebut akan terjadi pergantian pengurus sehingga utusan yang dikirim ke muktamar nanti bukan dari kalangan mereka. Mereka mendesak sedemikian keras sehingga para kiai di jajaran syuriah menjadi risi dan cenderung diam. Kecuali Gus Mus.
Beliau waktu itu menjabat katib syuriah dan telah ditunjuk untuk menjadi ketua panitia pengarah konferwil. Setelah mengajukan argumentasi yang tandas, Gus Mus menancapkan ultimatum, ’’Kalau mau menunda konferwil, silakan saja. Tapi, saya berhenti dari pengurus!’’
Semua yang hadir terkejut. Tapi, raut muka para kiai justru terlihat bersemangat. Bahasa tubuh mereka pun mengisyaratkan siap pergi bersama Gus Mus! Rapat akhirnya tidak berani membuat keputusan selain meneruskan rencana penyelenggaraan konferwil seperti semula.
Sepanjang prosesi konferwil itu, Gus Mus laksana Lone Ranger mengerahkan dayanya habis-habisan untuk memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Beliau bahkan bersikeras meminta menjadi pembawa acara –yang seharusnya sudah bukan maqom katib syuriah– dalam upacara pembukaan untuk memastikan agar yang memberikan pidato sambutan atas nama PB NU adalah Rais Am Kiai Ali Ma’shum karena Gus Mus mencium gejala sabotase.
Matori Abdul Djalil (almarhum), salah seorang wakil ketua tanfidziyah dan jagoan kelompok politisi yang sudah diplot untuk menjalankan peran ’’destroyer’’ dalam skenario mereka, ’’dikempit’’ Gus Mus habis tanpa bisa lepas sama sekali. ’’Kamu jangan jauh-jauh dari saya supaya kamu terlihat dekat dengan kiai. Jangan sampai kamu ikut dianggap memusuhi kiai,’’ ujar Gus Mus. Matori tidak punya kata-kata untuk membantah ataupun mengelak.
Setelah konferwil yang sukses, Matori menghampiri Gus Mus dan berujar sambil garuk-garuk kepala, ’’Saya salah sangka... Saya pikir Panjenengan itu nggak ngerti politik…’’
Muktamar Ke-32 di Makassar, Rais Am Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh rahimahullah hampir melewati pertengahan dari usia 70-annya. Beliau terlihat –dan kenyataannya memang– teramat sepuh dan lelah. Semua orang tahu betapa beliau amat mendambakan istirahat setelah mencurahkan dua pertiga umur beliau untuk NU. Kepada orang-orang terdekat, tidak sekali dua kali beliau mengungkapkan keinginan istirahat itu.
Tapi, kian dekat menuju muktamar, aroma hubbur riyaasah (ngebet jabatan) merebak. Kian terasa bahwa orang tidak sungkan mengincar jabatan tanpa memedulikan maqom. Bahkan, haibah (keangkeran) lembaga rais am terancam jatuh dijadikan sekadar portofolio politik.