Kiai dan Jabatan
Oleh: Yahya C. Staquf*Sudah sepuluh tahun marwah lembaga rais am berada di bawah pemeliharaan Kiai Sahal. Beliau tidak tega menyerahkan begitu saja marwah itu kepada terkaman bahaya. Di hadapan tatapan mata penuh permohonan dari santri-santri NU-nya, Kiai Sahal menghela napas mengerahkan seluruh energi rohaninya, ’’Baik. Saya bersedia maju lagi sebagai calon rais am.’’
Dengan itu, Kiai Sahal mendermakan seluruh sisa daya hidupnya. Beliau pun wafat sebelum selesai masa bakti jabatannya. Beliau memperoleh lebih baik dari sekadar istirahat. Beliau memperoleh syahaadah di tengah tugas.
Hari ini, entah masih ada berapa orang yang ingat bahwa Nahdlatul Ulama bukan organisasi biasa. NU tidak seperti perkumpulan pedagang atau petani, tidak pula semacam karang taruna. NU terlebih dahulu dan pada dasarnya adalah jamiyyah diiniyyah (perkumpulan keagamaan) sebelum ijtimaa’iyyah (kemasyarakatan).
Seharusnya tidak boleh ada sejumput pun urusan dalam NU yang tidak membawa roh agama dan mengikuti panduan agama.
’’Djasmerah!’’ kata Bung Karno. Djangan sekali-kali melupakan sedjarah! (***)
*) Penulis adalah Katib Syuriah PB NU