Kisah 10 Guru asal Indonesia Berlatih jadi Astronot
Nur tak patah arang. Dia menggerakkan para murid untuk mengumpulkan sampah plastik, kardus, dan barang-barang bekas lain sebagai alat praktik pembelajaran STEM. Misalnya, dia mencontohkan cara membuat baterai dari sampah sayur.
Yakni, karbon dikeluarkan dari selongsong baterai bekas dan diganti dengan sampah sayur yang telah melalui pengujian.
Selain itu, karya Nur yang membanggakan yang menang dalam ajang Japan Education for Sustainable Development (ESD) Award pada 2016 adalah charger handphone dari map plastik. ’’Aku bikin step up dan pakai dinamo. Kami atur. Itu mengandalkan putaran air. Alatnya sangat kecil,’’ jelas guru yang telah mengabdi selama sembilan tahun tersebut.
Ternyata, itu bukan satu-satunya ajang kompetisi internasional yang diikuti Nur. Dia telah mengikuti berbagai lomba serupa dan selalu menang. Misalnya, Mathematics Using ICT SEAMEO QITEP In Mathematics, Environment and Sustainable Development Goals SEAMEO QITEP In Science, serta World Culture Forum UNESCO.
’’Jadi, murid senang. Guru nggak cuma ceramah. Tapi ada medianya. Medianya juga murah. Tidak harus yang canggih dan mahal sehingga orang tuanya pun senang,’’ katanya.
’’Semakin hari nilainya kian bagus. Awalnya siswa sering bolos, tetapi sekarang rajin. PR yang saya berikan sifatnya praktik, bukan tertulis,’’ beber lulusan S-2 psikologi pendidikan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu, lantas tersenyum.
Rupanya, penghargaan yang didapat dari Japan ESD tersebut tidak hanya mengangkat sosok dirinya sebagai guru berprestasi. Tetapi, hal itu juga merealisasikan harapan guru dan murid di sekolahnya untuk mendapat fasilitas pendidikan yang layak.
Sejak itu, sejumlah organisasi dunia, salah satunya UNESCO, mengundang Nur untuk mempresentasikan kondisi sekolah tempatnya mengajar. Dia menceritakan kondisi apa adanya. Karena itu pula, pemerintah mulai memberikan perhatian.