Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam
Oleh: Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSLPendidikan yang berdasar pada budaya Jawa asli, di mana nurani sebagai Way of Life dan pikir sebagai alat untuk memimpin.
Ilmu-ilmu beliau sudah mencapai tataran tingkat tinggi dan mencapai alam makrifat. Manusia harus jadi ”Manungso sejati, sejatine manungso”, di mana nurani sebagai titik dan sumber tuntunan bagi kehidupan.
Sedangkan pikiran sebagai alat untuk menjalankan tuntunan Ilahi. ”Guru keluarga” selalu mengajarkan bagaimana manusia mampu kembali menjadi manusia yang sebenarnya.
Dengan menyelaraskan batin, pikiran, ucapan, dan perbuatan, manusia akan menjadi manusia menurut kodrat Ilahi. Sukma merupakan percikan Ilahi, sebagai utusan Sang Pencipta (Ha-Hananira, wahanane Hyang).
Pada hakihatnya bila manusia telah mampu menyelaraskan dan menyamakan antara batin, pikiran, ucapan, dan perbuatannya, manusia tersebut telah mencapai alam makrifat. Manusia tersebut mampu berada di posisi ”Jumbuhing Kawulo Gusti”. Berarti manusia itu mampu menjadi seorang pemimpin (Gusti=Bagusing Ati).
Dengan laku tapabrata seperti di atas, manusia kembali pada asalnya, hal ini dalam budaya Jawa disebut ”Sangkan Paraning Dumadi”. Hakikat kehidupan manusia sama dengan ciptaan lainnya, menurut hukum ekosistem.
Dalam budaya Jawa dikenal dengan ”Cakra Manggilingan”. Bila manusia mampu meletakkan batin, pikiran, ucapan, dan perbuatannya sama, maka tidak ada lagi tuntunan lain kecuali tuntunan Sang Pencipta lewat batin atau nuraninya. Swara dalam batin itulah sejati.
Manusia harus mempunyai nilai penting bagi umat sekelilingnya, kita juga bisa mengikuti jejak para sufi, seperti jalannya burung-burung di udara, tidak seorang manusia pun yang dapat melihat bekas tapaknya.