Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama

Prof Dr Junaidi Mistar

Jumat, 01 Juni 2018 – 00:02 WIB
Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama - JPNN.COM
Prof Dr Junaidi Mistar Guru Besar di Universitas Islam Malang.

Kegiatan di musala diakhiri dengan menyapu halaman musala dan halaman rumah kiai. Santri pun kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk siap-siap berangkat ke sekolah. Sedangkan kiai pergi ke ladang atau sawah untuk bertani.

Rutinitas penempaan spiritualitas yang saya jalani seperti ini berubah saat bulan Ramadan. Ramadan adalah bulan yang spesial bagi santri. Selama bulan puasa itu, tidak ada kegiatan belajar-mengajar, baik pelajaran mengaji Alquran maupun mengaji kitab.

Penggantinya adalah kegiatan darusan. Kegiatan tadarus ini dengan target 6 juz per malam, sehingga Alquran khatam dalam 5 malam. Selama Ramadan itu, santri berangkat ke musala menjelang Isya setelah mereka berbuka di rumah masing-masing.

Mereka datang ke musholla dengan masing-masing telah membawa tabeg (bekal) untuk sahur. Sahurnya pun bukan saat menjelang imsyak seperti kebiasaan saya sekarang.
Melainkan, usai tadarus sekitar pukul 24.00, kiai memerintahkan santri untuk langsung sahur. Mungkin kiai berpikir supaya para santri yang umumnya memang masih usia SD dan SMP itu masih bisa istirahat yang cukup sebelum masuk Subuh.

Ini berarti, justru saat saya masih kanak-kanak, saya sudah terbiasa berpuasa selama sekitar 17 jam, mulai pukul 00.30 sampai 17.30.

Suasana darusan kadang diwarnai persaingan antarmusala. Kadang suatu musala kedatangan tamu santri yang nompoh (bertandang untuk bersaing) dari musala lain yang sengaja datang untuk beradu kepandaian membaca Alquran.

Santri tamu itu akan mengaji dan disimak dengan sangat cermat oleh santri tuan rumah. Setiap kesalahan sekecil apa pun akan dikoreksi. Semakin sedikit koreksinya, semakin bagus kualitas pembelajaran di suatu musala. Kebetulan saya sendiri termasuk yang agak sering diajak nompoh atau menerima tompohan.

Rutinitas ini saya jalani hingga saya lulus sekolah menengah pertama (SMP). Pada saat itu, saya dihadapkan pada 2 pilihan, melanjutkan pendidikan umum ke jenjang SLTA atau melanjutkan pendidikan agama ke pondok pesantren.

Kisah spiritual kali ini datang dari Prof Dr Junaidi Mistar yang berawal dari musala tak bernama.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close