Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama
Prof Dr Junaidi MistarSaat itu, saya belum tahu bahwa sebenarnya ada pondok pesantren yang juga menyelenggarakan pendidikan umum.
Karena ketidaktahuan itu, maka tidak ada alternatif untuk melanjutkan studi agama di pondok pesantren sekaligus melanjutkan studi umum di sekolah.
Orang tua sebenarnya mendorong saya ke pondok pesantren saja karena beliau berdua mengharapkan saya menjadi guru mengaji, tetapi saya memohon untuk diperkenankan melanjutkan sekolah umum.
Mungkin karena saya ngotot, akhirnya permohonan dikabulkan dengan 2 syarat. Pertama, sekolahnya ke sekolah pendidikan guru (SPG). Sehingga, walaupun tidak menjadi guru mengaji, saya tetap bekerja mengajarkan ilmu kepada orang lain, yaitu menjadi guru di sekolah.
Kedua, saya harus tetap belajar mengaji di musala. Maka, belajarlah saya di SPG dan malam hari masih belajar mengaji dan tidur di musala. Bahkan kebiasaan tidur di musala bersama santri itu berlanjut saat saya sudah kuliah di IKIP Malang.
Selama saya menjadi mahasiswa, setiap saya pulang kampung, saya tidur bersama santri di musala.
Pengalaman belajar ilmu umum di sekolah dan belajar ilmu agama di musala yang tak bernama itulah yang menempa perkembangan intelektualitas dan spiritualitas saya hingga meraih keadaan seperti sekarang ini. Alhamdulillahi rabbil aalamiin. (radarmalang/abm)