Kisah Spiritual: Hidup Penuh Misteri
Di STM, prestasi saya sangat baik dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik saat malam perpisahan. Esok harinya, tanpa sepengetahuan saya, beberapa guru datang ke rumah saya di desa dan meminta ke keluarga saya agar saya bisa melanjutkan sekolah (kuliah).
Terjadi tarik-menarik. Keluarga saya bingung dengan usulan para guru itu, terutama menyangkut biaya. Terutama, kakek saya yang paling tidak setuju. Takut kalau sawah atau sapinya terjual untuk biaya sekolah.
Di tengah-tengah tarik-menarik itu, nenek saya tegas mengizinkan dan saya akhirnya kuliah ke Malang dan mendaftar di IKIP Malang (saat ini UM). Karena saya lulusan STM Jurusan Tekinik Sipil, saya mendafar di IKIP Malang jurusan Pendidikan Teknik Sipil.
Secara kebetulan, saya tinggal di rumah kos bersama seorang dosen bahasa Inggris. Dia terus memengaruhi saya agar saya pindah jurusan, karena di masa depan, bahasa Inggris sangat penting.
Pengaruh pak dosen muda itu luar biasa bagi saya. Sehingga saya siap-siap untuk daftar lagi di IKIP Malang memilih Jurusan Bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris saya sangat kurang, maka saya mengambil kursus. Tahun berikutnya, saya benar-benar mendaftar di Jurusan Bahasa Inggris, dan akhirnya diterima. Persaingan sangat ketat saat itu. Maklum, bahasa Inggris adalah jurusan paling favorit di IKIP Malang. Anehnya, di jurusan itu saya satu-satunya alumni STM yang diterima.
Malah, ada pegawai dari bagian penerimaan mahasiswa mengatakan aneh saya bisa diterima. Mestinya lulusan STM tidak bisa daftar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sambil berkelakar dia mengatakan, ”mungkin petugas pendaftar tidak membaca ijazahmu dengan teliti, sehingga kamu bisa lolos. Atau, ada malaikat yang menutup mata petugas saat itu,”.
Lulus dari IKIP Malang, saya mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi sebelum akhirnya melamar menjadi dosen di UIN Malang. Saat itu masih berstatus Fakultas Tarbiyah Malang cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ketika saya mendaftarkan diri sebagai dosen, tak seorang pun yakin saya diterima. Sebab, jatah untuk Fakultas Tarbiyah Malang hanya 1 orang, sedangkan pendaftar calon dosen lebih dari 60 orang. Beberapa dari mereka sudah lama antre sebagai dosen honorer.
Secara nalar sangat bisa dipahami. Bahkan seorang staf pendaftaran sempat mengatakan, apa gak sebaiknya saya cari tempat lain yang peluangnya lebih besar daripada di fakultas ini yang hanya untuk 1 orang. Dengan halus saya mengatakan, ”Gak, Pak, siapa tahu satu peluang itu untuk saya,” jawab saya. Lagi pula, saya memang ingin menjadi dosen di kampus ini.