Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan
Begitu pula dengan TAP MPR NO. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaam Sumber Daya Alam, penting menjadi acuan mengingat masalah sektoralisme peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling kontradiktif telah kita sadari bersama.
Akan tetapi, bila merujuk pada naskah RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 hasil Rapat Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR RI, Koalisi menilai substansi RUU Pertanahan semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlansungan hajat hidup rakyat Indonesia.
Setidaknya, terdapat sejumlah masalah mendasar dalam RUU Pertanahan, yakni:
Pertama, hak rakyat atas tanah dan wilayah hidup. RUU Pertanahan belum menjamin sepenuhnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan serta perkotaan atas tanah dan keberlanjutan wilayah hidupnya;
Kedua, Reforma Agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat. RUU Pertanahan belum secara jelas dan konsisten hendak menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah serta sumber-sumber agraria lain yang timpang menjadi berkeadilan. Tidak ada rumusan tujuan reforma agraria untuk memperbaiki ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria kronis dan mensejahterakan rakyat. Mengingat, petani Indonesia rata-rata gurem/kecil/miskin (11, 5 juta KK per Sensus 2013). Dari tahun ke tahun semakin banyak jumlah petani gurem bahkan landless (tak bertanah/menjadi buruh tani). Sementara segelintir kelompok pengusaha sawit menguasai tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin lokasi seluas sekitar 14 juta hektare. Segelintir orang, badan usaha, para elit menguasai tanah dan asset tanah begitu besar;
Ketiga, penyelesaian konflik agraria (struktural). RUU Pertanahan tidak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural di seluruh sektor pertanahan. Dalam 11 tahun terakhir saja (2007-2018) telah terjadi 2.836 kejadian konflik agraria di wilayah perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan, pulau-pulau kecil dan akibat pembangunan infrastruktur seluas 7.572.431 hektare (KPA, 2018).
Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian dan kebun rakyat masih belum dikeluarkan dari konsesi-konsesi perusahaan. Tidak ada satu pasal pun dalam RUU ini kehendak untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria tersebut. Pembentukan Pengadilan Pertanahan untuk sengketa pertanahan bukanlan jawabannya.
Keempat, inkonsistensi dan kontradiksi. RUU Pertanahan juga mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsideran dengan isi RUU, antara niatan menjalankan reforma agraria untuk menata ulang strukur agrarian menjadi berkeadilan dengan rumusan-rumusan baru terkait HGU, HGB, Hak Pengelolaan, dan Bank Tanah.