Konon, Tumbal itu Berupa Kepala Manusia
Rombongan trip pun kontan membalas semangat: ”Yahowuuu...!”
Saat Sumut Pos melewati gerbang desa, suasana perkampungan megalitik Nias langsung meresap di hati. Bebatuan di depan rumah menjadi pemandangan pertama yang terekam. Bebatuan lebar dan panjang dengan bentuk berbeda-beda itu, disusun berderet di depan rumah-rumah. Letaknya sejajar membentuk garis lurus mengikuti barisan rumah. Fungsinya sebagai tempat duduk.
Puluhan rumah adat berbaris di kiri kanan. Dan di ujung --berhadap-hadapan dengan pintu gerbang desa--, barisan rumah berbelok ke kiri dan ke kanan (panjangnya tidak sama) hingga membentuk lanscape huruf T tidak sempurna.
Sebagian besar rumah memiliki ciri khas berupa dua tiang bulat sebesar pelukan anak remaja, membentuk huruf V di depan tiang-tiang penopang rumah. Di tengah huruf V itu kita bisa duduk santai menikmati suasana sore.
Rumah adat dibangun dari bahan kayu, aslinya beratap sejenis rumbia. Hanya saja saat ini sebagian besar sudah diganti seng. Konon trauma dengan ancaman kebakaran.
Di setiap atap rumah, ada bukaan berukuran sekitar panjang 2 meter lebar 1 meter, yang bisa dibuka-tutup. Nama bukaan ini ’lawa-lawa’. Fungsinya sebagai ruang udara dan cahaya.. dan juga tempat memantau desa. Rumah adat ini tembus satu sama lain, dihubungkan semacam gang antarrumah.
Di tengah desa, ada Omo Oahua alias Balai Pertemuan. Dan di dekatnya terletak Hombo Batu, ciri khas desa adat di Nisel. Tingginya 2,15 meter. Ini merupakan hombo batu tertinggi di Nias. Tinggi itu masih bisa ditambah lagi saat atraksi lompat batu, dengan meminta seorang prajurit berbaring di atas hombo batu untuk dilompati rekan-rekannya, atau menambah kotak kayu.
”Desa kami ini adalah desa tertua kedua di Nias setelah Desa Gomo. Nenek moyang kami konon datang dari kaki pegunungan Himalaya. Makanya kami ada kemiripan dengan orang Tibet,” kata Kepala Suku di Orahili Fau, Miliar Fau yang memiliki gelar