KPK Pernah Berikan Rekomendasi Agar BPJS Tak Defisit, Tetapi Diabaikan
jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memberikan rekomendasi dari hasil kajian agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. Namun, rekomendasi tanpa menaikkan iuran BPJS itu tidak pernah digubris hingga saat ini.
Surat rekomendasi itu diserahkan KPK secara resmi ke Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020 atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, tanpa menaikkan iuran. Tetapi enggak ditanggapi itu surat," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dikonfirmasi, Kamis (14/5).
Berikut rekomendasi KPK kepada pemerintah agar BPJS Kesehatan tidak defisit tanpa meningkatkan iuran:
1. Kementerian Kesehatan segera menyelesaikan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) untuk seluruh jenis penyakit yang diperlukan. Kasus klaim operasi katarak dan rehabilitasi medik (fisioterapi) pada 2018 merupakan contoh di mana ketiadaan PNPK dapat menyuburkan unecessary treatments yang berujung pada pengeluaran yang tidak perlu. Saat ini baru 33 dari 74 PNPK (45 persen) yang telah diselesaikan dan menjadi panduan penangan penyakit sebagai dasar klaim ke BPJS kesehatan dan masih ada 60 PNPK judul baru yang diusulkan hingga 2024. Sebagai rujukan, pada praktik di negara maju dengan PNPK yang relatif jelas, praktek unnecessary treatment masih tetap terjadi pada tingkat 5-10 persen dari total klaim. Tanpa adanya PNPK yang lengkap maka dipastikan persentase akan lebih tinggi.
2. Penertiban kelas Rumah Sakit (RS) perlu disegerakan. Pada 2018, KPK, Kemenkes dan BPJS kesehatan mengunjungi enam RS, di mana empat RS mengajukan klaim ke BPJS dengan kelas RS yang tidak sesuai dengan standar Kemenkes. RS tersebut seharusnya mengajukan klaim dengan kelas yang lebih rendah. Over-payment dari klaim empat RS ini bernilai Rp 33 miliar per tahun atau Rp 8,25 miliar per RS per tahun. Kemenkes telah melakukan reviu terkait kelas RS se-lndonesia dan klaim ke BPJS. Didapati 898 RS tidak sesuai kelasnya. KPK merekomendasikan agar surat Kemenkes HK.04.01/1/2963/2019 tentang hal di atas segera ditindaklanjuti dengan penurunan kelas RS berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Kesehatan pemerintah daerah. Penertiban ini akan berdampak pada berkurangnya over-payment sekitar Rp 6 triliun setiap tahun secara signifikan karena klaim RS berdasarkan kelas.
3. Kebijakan mengenai urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagai mana sudah diatur dalam Permenkes 51 tahun 2018 tentang Urun biaya dan selisih biaya dalam program Jaminan Kesehatan, agar segera diimplementasikan. Urun biaya merupakan upaya untuk meminta kepada peserta yang mampu kesediaan menanggung 10 persen dari biaya kesehatan. Upaya ini perlu segera dilakukan karena klaim dari peserta mandiri justru jauh lebih besar dari penerimaan iurannya. Kami juga merekomendasikan agar urun biaya dikenakan berjenjang tergantung kelas serta besaran klaim atau jenis penyakit. Per akhir 2018, total klaim dari peserta mandiri (PBPU) mencapai Rp 22 triliun. Sehingga co-payment sebesar 10 persen akan menghemat pengeluaran BPJS sebesar Rp 2,2 triliun. Urun-biaya dapat dinaikkan hingga 30 persen untuk peserta mandiri kelas I, lebih rendah untuk kelas II dan seterusnya.
4. Kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik agar mulai dikenalkan sebagai bagian dari upaya pencegahan. Penyakit yang muncul karena gaya hidup misalnya merokok, kurang gerak badan, makan berlemak dan manis, dan Iain-lain saat ini mendominasi total klaim. Untuk itu, manfaat yang diberikan untuk peserta dengan riwayat gaya hidup tidak sehat perlu segera dibedakan dan dibatasi.
Per akhir 2018 klaim atas penyakit katastropik mencapai Rp 28 triliun (30 persen dari total klaim) sehingga pembatasan manfaat akan mengurangi pengeluaran secara signifikan.