KPK Sebut Dana Pengelolaan Stunting Pemerintah Rawan Dikorupsi
jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai anggaran pemerintah mengenai program stunting rawan menjadi bancakan rasuah. KPK mengingatkan pemerintah untuk menggunakan anggaran peningkatan gizi masyarakat itu secara transparan, akuntable, dan tepat sasaran.
KPK menyatakan upaya percepatan penurunan prevalensi stunting terus digencarkan pemerintah. Salah satunya dalam pengalokasian dana. Tahun lalu, pemerintah pusat mengalokasikan belanja cukup tinggi yaitu sebesar RP 34,1 triliun (t). Di mana rincian terbesar berada di Kementerian Sosial sebesar Rp 23,3 t, Kemenkes Rp 8,2 t, Kemen PUPR Rp 1,3 t, BKKBN Rp 810 miliar (sebagai koordinator pelaksana), serta tersebar di 17 Kementerian/Lembaga lainnya.
“Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik. Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi, sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi,” kata Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) Niken Ariati di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (25/1).
KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi juga mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal.
Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah. Meskipun program ini menjadi prioritas nasional.
“Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan,” ujar Niken.
Pada aspek penganggaran, Niken menuturkan temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK nonfisik masih belum berjalan optimal.
Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan sebagai contoh untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.