Lewat Buku Biografi, Gus Yahya Ceritakan Derap Langkah dan Gagasannya
Mantan Juru Bicara Presiden Indonesia Abdurahman Wahid alias Gus Dur ini menceritakan, tahun 1970-an merupakan yang paling dramatis dari bertemunya dunia pesantren yang tradisional dengan realitas modern. Yaitu ketika negara sebagai agen dari modernitas ini makin dalam cengkeramannya kepada masyarakat termasuk institusi sosial yang ada dalam pesantren.
“Nah, maka saya tumbuh di tengah-tengah perubahan psikologi ini,” ujar Gus Yahya.
Dia mengaku merasakan secara mental juga mengalami perubahan-perubahan dramatis tentang bagaimana cara memandang realitas dan menanggapi realitas itu sendiri.
“Maka sekali lagi, saya katakan, kalau saya gambarkan diri saya adalah pertama-tama anak perubahan,” kata Gus Yahya.
Menurut Gus Yahya, dirinya adalah turunan asli NU, di mana orang tuanya hingga kakeknya adalah pentolan NU dan dia (Gus Yahya) sendiri dibesarkan di lingkungan NU sejak masih kecil hingga dewasa.
“Kedua, saya ini adalah anak NU. Saya lahir di tengah-tengah keluarga NU. Ketika saya lahir kakek saya adalah Rois syuriah pengurus wilayah NU Jawa Tengah dan ayah saya adalah pemimpin cabang gerakan Ansor Rembang. Kemudian pada masa kecil, ayah saya naik kariernya jadi ketua cabang NU,” ungkap Gus Yahya.
“Jadi, saya ini emang anak NU, sebagian besar pergulatan mental saya kalau saya berpikir tentang dunia kehidupan saya itu nyaris tidak ada elemen-elemen yang tidak terkait dengan NU,” kata dia.
Lebih jauh, Gus Yahya menganggap dirinya sebagai anak Gus Dur, karena semenjak mengenal Gus Dur secara pribadi maka pikiran-pikiran pergulatan mentalnya terkait NU ini selalu merujuk kepada Gus Dur.