Malioboro & Baca Al-Qur'an
Flash mob kolosal itu diikuti 1.500 taruna dan perwira TNI Angkatan Udara yang berbaris merentang dari Tugu sampai ke perempatan Kantor Pos. Atraksi budaya tersebut menarik perhatian banyak turis yang menikmati kekayaan dan keragaman budaya Yogyakarta.
Atraksi massal ini memecahkan rekor ‘Lembaga Prestasi Indonesia dan Dunia’ untuk kategori flash mob tari tradisional dengan peserta terbanyak.
Atraksi serupa dengan jumlah yang lebih kecil dilakukan puluhan personel polisi di Kepatihan, kompleks Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka menarikan poco-poco secara massal dan menyanyi bersama-sama.
Pada kesempatan lain, di ujung Malioboro, di teras Museum Sonobudoyo, puluhan orang duduk lesehan membawakan tembang-tembang Macapat secara bergantian, dan sesekali membaca bersama-sama. Puluhan orang mengikuti acara itu setiap Selasa Wage.
Acara bisa berpindah-pindah di sepanjang Malioboro. Secara bersama dan bergantian, mereka melantunkan lagu Gambuh, Kinanthi, Pangkur, dan Pucung. Bukan hanya dalam bahasa Jawa, tetapi juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga bisa dipahami oleh audiens.
Ekspresi keagamaan di ruang publik adalah hal yang lazim di Indonesia. Tidak ada protes terhadap ekspresi keagamaan itu.
Di wilatyah yang kebetulan Islam menjadi mayoritas, ekspresi keagamaan itu bercampur menjadi budaya dan dilakukan dalam banyak momen. Ada pawai menjelang Ramadan atau pada hari-hari besar Islam. Ada takbir keliling saat malam Idulfitri, dan banyak lagi ekspresi di ruang publik yang diterima sebagai bagian dari budaya.
Di Bali ada pawai ogoh-ogoh yang meriah dan atraktif setiap menjelang Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh bukan sekadar ekspresi keagamaan, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya.