Ma’ruf Amin: Saya tak Pernah Berharap jadi Wapres
Kalau yang tidak bisa diselesaikan dengan karakter, ya diselesaikan dengan hukum. Antara karakter dan penegakan hukum kan saling menopang. Kalau pembangunan karakternya kuat, maka orang yang berhubungan dengan hukumnya sedikit. Tetapi kalau orang yang berhubungan dengan hukumnya banyak, berarti pembangunan karakternya tidak baik. Tetapi nanti kita tentu akan mengikuti arahan yang disusun oleh tim yang dibentuk oleh partai politik.
Berarti Anda sudah siap sekali menjadi cawapres?
Saya enak, nyaman di jalur (ulama) ini, namun jika negara membutuhkan saya, saya siap. Ulama itu kan seperti itu, kalau dibutuhkan manfaatnya, harus siap. Walaupun ada yang bilang jangan jadi pejabatlah. Saya bilang, memang yang boleh menjadi presiden-wakil presiden itu hanya politisi saja, hanya tentara saja, pengusaha saja? Tetapi kan ulama juga boleh.
Waktu Gus Dur menjadi presiden, boleh. Giliran saya menjadi wakil presiden, nggak boleh, masa enggak boleh. Makanya saya bersyukur kepada Allah, karena dipilih oleh Pak Jokowi. Dari situ membuktikan, bahwa Pak Jokowi itu betul-betul menghargai ulama. Saya anggap sebagai penghargaan kepada ulama.
Pak Jokowi itu enggak pernah bilang saya menghargai ulama, tetapi secara perbuatan sangat menghormati ulama. Berbeda dengan sebelah sana, ngomongnya menghormati ulama, tetapi ijtima ulamanya tidak didengari, begitu. Mana wakilnya bukan ulama.
Mengapa DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang Anda datangi pertama kali?
Dulu saya pernah menjadi ketua fraksi PPP di DPRD DKI Jakarta pada tahun 1973-1977, dan pada tahun 1977 saya menjadi anggota DPRD lagi. Jadi lama saya di PPP. Buat saya, PPP ini rumah saya. Untuk saya berkoordinasi.
Oh ya, bagaimana dengan wacana ekonomi keumatan, nantinya seperti apa itu?
Ekonomi umat nanti dirumuskan lebih jauh lagi, yang penting pemberdayaan ekonomi umat.
(rakyatmerdeka/rmol/jpnn)