Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 31 Januari 2022 – 14:23 WIB
Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme - JPNN.COM
Suasana jumatan di Masjid Istiqlal beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

Terjadilah ketegangan yang menjurus ke bentrokan fisik. Dua massa yang bentrok itu adalah mahasiswa yang menguasai Senayan--dan menolak Sidang Istimewa MPR yang bisa memuluskan jalan Habibie menuju kursi kepresidenan—berhadapan dengan mahasiswa Islam yang bergabung dengan Laskar Islam Pam-Swakarsa.

Hal ini dipandang Kunto sebagai ketegangan sosiologis politis antara gerakan yang menjadikan masjid sebagai sentra melawan gerakan yang tidak menjadikan masjid sebagai sentra, meskipun dua-duanya mengaku sebagai muslim. Inilah titik tolak pandangan Kunto mengenai ‘’muslim yang punya masjid’’ versus ‘’muslim tanpa masjid’’.

Laskar Islam Pam Swakarsa yang mendukung Habibie memulai demonstrasinya dari masjid Al-Azhar dan Istiqlal. Al-Azhar dianggap sebagai simbol masjid umat, dan Istiqlal adalah masjid simbol negara.

Gerakan ini diadang oleh mahasiswa yang menolak Habibie. Kalangan inilah yang oleh Kunto disebut sebagai representasi muslim tanpa masjid. Mereka juga berasal dari keluarga muslim dan menjalankan ritual sebagaimana muslim lainnya.

Para mahasiswa itu, misalnya, mendirikan salat tarawih di garasi Universitas Atmajaya dalam situasi demonstrasi berlangsung hingga malam hari.

Kunto menaruh perhatian kepada "muslim tanpa masjid" ini bukan tanpa alasan historis. Ia sadar jumlah mereka luar biasa besarnya ketimbang "muslim yang bernaung di masjid umat". Karena itu kelompok muslim tanpa masjid ini menjadi kekuatan politik yang tersembunyi yang justru sering menjegal partai-partai Islam.

Pemilahan yang dilakukan antropologis Clifford Geertz bisa menerangkan hal itu. Geertz memisahkan masyarakat Indonesia dalam tiga kategori santri, priyayi, dan abangan. Secara sederhana, santri adalah ‘’muslim yang punya masjid’’ dan priyayi bersama abangan adalah ‘’muslim tanpa masjid’’.

Abangan dan priyayi dikategorikan sebagai muslim nominal, atau dengan julukan yang pejoratif disebut sebagai ‘’Islam KTP’’, karena dalam identitasnya menyebut beragama Islam, tetapi tidak benar-benar menjalankan syariat, apalagi menjadi pendukung Islam politik.

Jangan cuma masjid yang didata, rumah kontrakan juga, karena banyak kasus radikalisme yang berawal dari sana.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close