Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 31 Januari 2022 – 14:23 WIB
Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme - JPNN.COM
Suasana jumatan di Masjid Istiqlal beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

Kalangan ini jumlahnya bisa sampai 70 persen atau lebih dari total muslim di Indonesia. Secara matematis seharusnya parta-partai Islam menjadi mayoritas dalam lanskap politik Indonesia.

Namun, dalam praktiknya partai-partai Islam tidak pernah bisa memenangi pemilihan umum nasional di Indonesia.

Pada pemilu demokratis pertama 1955 di masa Orde Lama, gabungan partai-partai dan organisasi Islam yang bernaung di bawah partai Masyumi, tidak bisa mengungguli Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didukung kalangan abangan.

PNI menjadi juara nasional disusul oleh Masyumi dan PKI. PNI dan PKI mempunyai irisan yang hampir sama, karena pendukung PKI pun secara formal menyebut agamanya Islam.

Selama kekuasaan Orde Baru Islam politik mengalami represi habis-habisan. Karena itu, begitu Soeharto jatuh karena reformasi, kekuatan Islam politik bangkit dan memperoleh kanalisasinya. Partai-partai yang dibubarkan semasa Orde Baru bangkit kembali.

Namun, kebangkitan itu tidak bisa menyatukan kekuatan Islam politik menjadi kekuatan yang utuh, karena Islam politik ternyata tidak monolitik, dan justru saling bersaing satu dengan lainnya. Kegagalan mengusung Habibie menjadi presiden yang merepresentasikan Islam politik, kata Kuntowijoyo, adalah bukti belum maksimalnya ‘’muslim yang punya masjid’’ dalam konstelasi politik Indonesia.

Perkembangan ini berlanjut sampai rezim Jokowi sekarang ini. Kekuatan ‘’muslim masjid’’ yang berusaha melakukan konsolidasi, menghadapi tantangan yang berat dari kelompok ‘’muslim tanpa masjid’’ yang didukung oleh rezim Jokowi dan oligarki politik.

Para pemikir Islam di era Orde Baru, seperti Nurcholish Madjid, mengusulkan pemisahan Islam dari politik praktis dengan jargon ‘’Islam Yes, Partai Islam No’’.

Jangan cuma masjid yang didata, rumah kontrakan juga, karena banyak kasus radikalisme yang berawal dari sana.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close