Membaca Keakraban Jokowi-Xi Jinping dan Geo Politik-Ekonomi Indonesia
Oleh; Dradjad H Wibowo PhD*Namun, pasar keuangan dunia tetap didominasi AS, Uni Eropa dan negara pro-Barat lain seperti Jepang dan Singapura. Jika pelaku pasar keuangan jadi takut karena Indonesia dianggap lari dari Barat, maka kerugiannya besar sekali. USD menguat sedikit saja, Rupiah sudah anjlok 15-19 persen dan membuat stabilitas APBN terganggu karen rendahnya penerimaan pajak. Bisa dibayangkan akibatnya jika Indonesia ditinggal pelaku pasar krn dianggap terlalu kiri dan terlalu mesra dengan China. Selain itu, AS masih tetap menjadi pasar ekspor utama Indonesia.
Saya melihat pemerintahan Jokowi kurang sreg dengan "lembaga boneka" AS dan Uni Eropa seperti Bank Dunia dan IMF. Saya sendiri sudah sejak lama melawan dominansi kedua lembaga tersebut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.
Meski demikian, Indonesia tetap harus bermain cerdas. Indonesia justru harus mampu memaksimalkan keuntungan dr persaingan AS, Uni Eropa dan Jepang vs China. Apalagi saat ini AS dipermalukan karena sekutu utamanya seperti Inggris dan Australia membelot ikut menjadi anggota pendiri Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dimotori China dan ditentang Washintgon.
Intinya, jika cerdas, Indonesia mendapat manfaat. Jika konyol, Indonesia akan terinjak-injak oleh raksasa yang sedang bertarung.
Ketiga, jangan tinggalkan Jepang dan mulai dekati Rusia. Jepang juga "terkucilkan" dalam kancah AIIB. Selama KAA, PM Shinzo Abe juga seperti tersisihkan oleh Presiden Xi.
Tapi jangan lupa, sekitar 1/3 utang Indonesia itu kepada Jepang dan berdenominasi Yen. Jepang juga sudah terbukti menjadi mitra ekonomi yang bisa dipercaya.
Terhadap Rusia, Indonesia terlihat masih menjaga jarak. Saat ini Rusia perlu teman, dan banyak manfaat yang bisa diperoleh dari peningkatan hubungan ekonomi dengan Rusia. Misalnya saja dalam bidang industri pertahanan, dirgantara, metalurgi, perdagangan hasil perkebunan dan sebagainya.