Membaca Keakraban Jokowi-Xi Jinping dan Geo Politik-Ekonomi Indonesia
Oleh; Dradjad H Wibowo PhD*Presiden Xi adalah pelopor transformasi yang signifikan ini. Pertimbangannya antara lain, laju pertumbuhan yang terlalu tinggi membuat konsumsi energi dan mineral China tumbuh di luar kendali. Akibatnya, China menjadi sangat rentan terhadap defisit pasokan energi dan mineral. Kondisi ini memberi risiko strategis yang besar bagi China. Selain itu, China merasa terlalu tergantung kepada ekspor sebagai sumber pertumbuhan, sehingga perlu berdiversifikasi ke konsumsi domestik.
Sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia sebagai buntut krisis Ukraina menjadi rahmat tersembunyi bagi China dalam proses transformasi ini. Rusia yang menoleh ke China akhirnya bersedia meneken kontrak pasokan gas Siberia ke China senilai USD 400 miliar selama 30 tahun. Padahal negosiasi kontrak ini sempat buntu selama 10 tahun lebih karena perbedaan formula harga yang tajam antara kedua negara.
Bagi China, Indonesia menjadi sumber gas, mineral, komoditi primer lain, sekaligus pasar ekspor. Dengan adanya kontrak gas Siberia, pasokan gas bagi China sebenarnya relatif lebih aman.
Namunm China tetap perlu mendiversifikasikan pasokan gasnya, termasuk misalnya dari ladang gas Tangguh. Demikian juga dengan batu bara dan mineral sepertt nikel, bijih besi dan sebagainya. China mengejar mineral-mineral tersebut dari Afrika, tapi Indonesia secara geografis lebih dekat dan cukup kaya mineral.
Jadi, dalam konteks transformasi ekonomi China, Indonesia menjadi bagian dari diversifikasi sumber gas, mineral, komoditi primer lain dan pasar ekspor. Tentu fakta bahwa Indonesia berada di jalur Selat Malaka dan isu Laut China Selatan masuk dalam hitungan China. Namun, China sudah mengambil langkah mengurangi ketergantungan thd Selat Malaka dengan kerjasama Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC - China Pakistan Economic Corridor).
Dengan realitas di atas, jangan sampai, keakraban Jokowi dengan Xi justru membuat Indonesia lebih memilih ekspor ke China daripada memenuhi kebutuhan domestik, seperti yang terjadi pada gas alam. Akibatnya antara lain, industri pupuk dan keramik kita kesulitan pasokan gas alam. Jangan sampai program hilirisasi tambang juga gagal krn mineral mentah dijual ke China. Industri nasional harus tetap menjadi prioritas supaya tidak menjadi korban kemesraan kita dng China.
Kedua, AS dan Uni Eropa perlu diberi kenyamanan bahwa Indonesia tidak lari dari mereka dan beralih ke China. AS dan Uni Eropa memang rewel, bawel, dan cenderung mendikte dalam banyak isu. Sementara China lebih fleksibel.