Menarik! Analisis Pakar Psikologi Forensik soal Komplotan Pembunuh di Kelapa Gading
"Adanya kekerabatan tertentu antarpelaku, yang diwarnai groupthink, sepertinya lebih relevan untuk menyoroti kasus tersebut," ucap Reza.
Pria yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan, groupthink berawal dari desakan waktu yang memaksa sekumpulan orang harus membuat keputusan secepat-cepatnya, dengan pertimbangan yang terlalu sederhana, demi mempertahankan identitas mereka sebagai sebuah kelompok.
Dalam kasus pembunuhan di Kelapa Gading, katanya, sekian banyak orang akhirnya terperangkap dalam groupthink demi mempertahankan ikatan kelompok mereka.
"Jadi, membunuh orang hanya cara untuk mencapai misi. Misi terdepannya bukan memperoleh uang, melainkan memastikan kelompok tetap eksis," sambung pria asal Indragiri Hulu, Riau itu.
Reza lantas menyitir ungkapan Victor Frankl, neurolog dan psikiater Austria; orang-orang tersebut menenggelamkan diri mereka masing-masing ke dalam diri kelompok.
"Inilah konformitas ekstrem. Konformitas ekstrem yang memperteguh identitas kelompok mereka. Kelompok yang, getirnya, berupa komplotan pelaku pembunuhan berencana," jelas Reza.
Dia juga menaruh perhatian pada sosok NL, perempuan yang mengaku sakit hati terhadap korban Sugianto.
"Yang cerdas justru NL. Dia, dengan atraksi kerasukannya, menciptakan tekanan yang memantik groupthink. Klaim bahwa dia sakit hati terhadap korban boleh jadi mirip dengan extreme emotional disturbance (EED)," ungkap Reza.