Menjajal Jalan Terjal Perhutanan Sosial
“Itu kata-kata simbolis orang tua. Karuhun. Saya tidak tahu, apakah ini (Perhutanan Sosial) wujud nyata kata-kata karuhun itu,” ujarnya tanpa tendensi apa-apa. Raut wajahnya datar. Pak Edang memang punya pembawaan yang tenang.
Yang jelas, menurut dia, rakyat bahagia dengan program Perhutanan Sosial yang dijalankan pemerintah.
“Semoga masyarakat bisa sejahtera. Nggak bakal ada penganggur. Mudah-mudahan dalam jangka empat hingga lima tahun ke depan sudah kelihatan hasilnya,” harap Pak Edang.
Musim penghujan baru saja datang. Waktu yang tepat untuk mulai menanam.
Bersama kelompok tani yang dipimpinnya, Pak Edang sudah berencana menanam kayu meranti, jati putih, manglit, jabon putih, mani’i.
Jenis tanaman kayu-kayuan itu, kata dia, mudah tumbuh dan cepat bisa dipanen.
Di samping itu juga menanam buah-buahan. Seperti mangga dan alpukat.
Oiya, tidak seluruh kelompok tani-nya Pak Edang punya latar belakang petani. Banyak juga yang sebelumnya bekerja serabutan dan maaf, pengangguran.
Pak Edang sendiri sebelumnya security. Bekerja sebagai petugas keamanan di satu perkebunan ke perkebunan lain.
“Pernah di perkebunan Bojong Asih, Surangga dan lain-lain. Terakhir di Gunung Titiran. Semuanya di wilayah Sukabumi. Saya mulai bekerja sebagai keamanan perkebunan sejak tahun 60-an. Kerja dari gaji 9 rupiah perhari,” kenangnya.
Sambil merendah Pak Edang bergumam, “seenggak-enggaknya ya ngerti ilmu bertani. ”
Begitu juga anggotanya yang lain. Meski sebelumnya ada yang belum pernah menjadi petani, karena memang tinggal di kampung, sedikit banyak tentunya paham bagaimana cara membalik, mengolah tanah.
Sejak Jokowi