Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi
Oleh R.H.Handini Wulan, M.IkomDalam wawancara dengan Karni Ilyas, Jokowi menyebut perlunya menjalankan pemerintahan yang berkelanjutan. Program dan proyek Pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang menelan dana ratusan triliyun misalnya, sudah dijalankan dan pasti tidak selesai hingga akhir kekuasaan Jokowi.
Proyek paling mercusuar itu bisa mangkrak jika pemerintahan berikutnya tidak mau melanjutkan. Karena itu, Jokowi berusaha mencari capres dan cawapres yang benar-benar berkomitmen bisa melanjutan program dan proyek yang sudah dijalankan tapi belum rampung.
Seandainya Jokowi benar-benar berprestasi gemilang, sangat mungkin rakyat memilihnya lagi bila ia mencalonkan kembali seperti Grover Cleveland di Amerika sana, atau seperti Mahathir Mohamad di Malaysia yang kembali berkuasa setelah dijeda oleh dua PM lain yang tidak segemilang Mahathir. Ia berkuasa terhitung sejak 16 Juli 1981 – hingga 30 Oktober 2003, kemudian dijeda oleh PM Abdullah Ahmad Badawi dan PM Najib Razak. Mahathir kembali menjadi PM Malaysia pada 10 Mei 2018 hingga 24 Februari 2020.
Namun itu hanya andai-andai dan harus kita kesampingkan. Sekarang yang perlu difokuskan adalah bagaimana kita memilih presiden dengan pikiran dan intuisi yang jernih, dengan akal dan nurani yang sehat, dari tiga pasangan calon yang ada. Karena ditangan presiden dan wakil presiden terpilih akan menentukan arah bangsa dan nasib 278 juta jiwa rakyat Indonesia.
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini: