Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi
Oleh R.H.Handini Wulan, M.IkomSuasana Panas
Pasca-pilpres 2024, suasana panas di ranah politik harus mendingin dan carut-marut persoalan dapat diurai dengan baik. Maka kita perlu duduk merenung, mencermati akar masalah, dan merumuskan solusi yang dapat dijalankan.
Pertama sekali teringat, ada yang sulit dibantah, bahwa keinginan untuk melanggengkan kenyamanan dan kenikmatan dalam berkuasa, bahasa kerennya politik dinasti, adalah naluri purba manusia sebagai mahluk primitif. Kekuasaan sudah ada dalam masyarakat primitif, dengan menunjuk siapa kuat dia paling berkuasa, dan siapa berkuasa, dia yang memimpin.
Pemimpin bisa diganti dengan cara direbut, kudeta, berkelahi atau perang sampai mati. Hingga jaman modern pemerintahan monarki di Tanah Jawa, kekuasaan Raja sebagiannya diganti dengan cara direbut atau dikudeta. Bahkan ada yang menafsir, Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 dari Bung Karno ke Pak Harto yang dokumennya tidak sampai sekarang, merupakan praktik coup de ‘etat (kudeta) di Indonesia.
Karena kekuasaan itu memang nyaman dan memabukkan, bisa kita lihat bagaimana presiden pertama berusaha melanggengkan kekuasaan melalui peraturan presiden seumur hidup. Lalu presiden kedua diam-diam mengamini praktik yang dilakukan pendahulunya, dan berkuasa lebih lama dari presiden pertama.
Jokowi juga tampaknya mabuk dengan cara dan peristiwa yang berbeda. Ia lima kali memenangkan pemilihan kekuasaan secara spektakuler, dari walikota, gubernur, hingga presiden, dan mungkin Jokowi adalah satu-satunya di muka bumi yang dapat meraihnya. Ia begitu percaya diri, terutama setelah 90 persen rakyat Solo memilih kembali dirinya sebagai walikota periode kedua.
Menurut akal waras dan rasa keadilan Pancasila yang berkonstitusi: aturan tak boleh dilabrak, tapi Jokowi tergelincir dan melakukan hal yang blunder, yaitu melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti.
Selain faktor kenyamanan dan kelezatan dalam berkuasa, tentu ada faktor-faktor yang menyulutnya untuk meng-estafetkan kekuasaan itu, misalnya ketakutan akan dibongkarnya hal yang bersifat ‘dosa’ selama berkuasa, termasuk menuntaskan program dan proyek yang sudah dijalankan.