Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?
Banyak sekali persoalan persoalan yang sangat mendasar untuk mendongkrak pertumbuhan kemampuan bersaing produk produk agribisnis kehutanan di Indonesia yang hampir tidak tampak progresnya dari tahun ke tahun - bahkan ketiga komponen tersebut diatas merupakan cerita lebih dari lima belas tahun lalu. Sehingga dalam jangka pendek sulit kita dapat mengharapkan pertumbuhan ekspor yang signifikan akibat peningkatan daya saing dalam situasi demikian kecuali dengan memperluas konsumsi dalam negeri sendiri.
Tidaklah mengherankan jika kontribusi subsektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus anjlok dari tahun ke tahun. Pada Tahun 1997 saja kontribusi subsektor ini sebesar 1,57%, sepuluh tahun kemudian pada Tahun 2006 kontribusi tersebut menjadi 0,90%, dan pada Tahun 2011 angka kontribusi terus drop mencapai 0,7% atau sebesar Rp 51.638,1 miliar dari total PDB Indonesia Rp 7.427.086,1 menurut harga berlaku. Bahkan Tahun 2012 kontribusi tersebut terus terjun bebas menjadi 0,67%.
Mengerikan sebenarnya jika kita bayangkan seberapa siap kita menghadapi Asean Economic Community (AEC) Tahun 2015, yang lebih powerful dari CEPT- AFTA (Common preferential Tariff-Asean Free Trade Agreement). Apabila AEC Tahun 2015 tercapai maka dalam hal arus barang dan jasa, blok perdagangan Negara Negara ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan produksi tunggal yang ditandai dengan tidak adanya hambatan baik tariff maupun non tariff untuk arus barang, jasa, investasi dan faktor produksi. Keseriusan dan kesepakatan Negara Negara ASEAN atas liberalisasi perdagangan ini diperkuat dengan dibentuknya Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA) tahun 2009.
Dalam konteks Agribisnis, khususnya subsektor kehutanan kompleksnya persoalan daya saing ekspor produk berbasis kayu serta upaya untuk memperbaikinya menuntut perombakan system kebijakan secara struktural yang rumit dan berjangka panjang dan masih jauh tingkat kesiapan kita menuju AEC 2015. Sejak 1998 kita belum pernah memiliki cerita sukses dalam upaya perbaikan daya saing sehingga diperlukan langkah langkah kebijakan jangka pendek sebagai aksi kongkrit kebijakan, paling tidak, diperlukan untuk menghentikan inefisiensi atau pemborosan pemanfaatan sumberdaya hutan (kayu bulat). `Kebijakan re-spesialisasi produk ekspor sebagai produk produk unggulan baru mungkin menjadi sebuah alternatif aksi kebijakan yang berguna dalam agribisnis kehutanan menghadapi AEC 2015. Re-spesialisasi merupakan tindakan kebijakan jangka pendek untuk menghindari pemborosan penggunaan sumberdaya hutan yang terlalu cepat dengan memberi fokus pada produk produk unggulan yang memberikan harapan.[***]
Rukmantara
* Penulis adalah Dosen Agribisnis Surya University