Menyimak 'Kejailan' Butet Kartaredjasa Melalui Lukisan Cat Air
Di sekolah tinggi yang belakangan menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) itu Butet bersama Widiyatno dan Suwarno masuk fakultas seni rupa. Namun, Butet dan Widiyatno meninggalkan ISI dengan status drop out, sedangkan Suwarno bertahan hingga menjadi dosen di almamaternya.
Butet mengaku tak pernah mencari inspirasi khusus untuk melukis. Semua lukisannya adalah respons spontan.
“Saya tidak pernah mencari inspirasi. Saya melukis mengandalkan improvisasi, jadi spontan saja. Ada material, ada cat, ada kertas, jadi saya menguji keterampilan saya. Bentuknya apa saya enggak tahu dan tiba-tiba menemukan ide sambil jalan,” katanya.
Namun, melukis juga punya manfaat lain bagi kakak kandung (Alm) Djaduk Ferianto itu. Melukis menjadi terapi kesehatan bagi Butet.
“Saya itu kan sudah diabetes, jantung, secara psikis saya punya beban. Tidak boleh down, secara psikis harus happy, harus menemukan kesenangan, kegembiraan. Saya harus happy anytime,” katanya.
Sementara Suwarno dalam pengantar katalog pameran Lanskap Luar Dalam menuturkan, Butet melalui lukisan-lukisannya merespons dan mengolah tema-tema sensitif terkait agama, politik dan budaya. Namun, tutur Suwarno mendedahkan, koleganya itu memiliki cara sendiri untuk mencairkan tema-tema sensitif tersebut.
“Kadang beberapa karyanya seperti meledek ke segala penjuru. Kultur guyonan sesekali menyembul pada sejumlah karyanya,” tulis Suwarno.(tan/ara/jpnn)