Merdeka Udara
Oleh: Dahlan IskanTahun 2005 mulai dibicarakan: bagaimana cara mengambil alih kedaulatan itu. Maka di tahun 2008, bulan Desember, DPR menyetujui UU baru. Januari 2009, lahirlah UU No. 1/2009. Bahwa Indonesia harus berdaulat sepenuhnya, atas wilayah darat, laut, dan udara.
Maka UU tersebut mengamanatkan: dalam 15 tahun setelah itu wilayah udara dimaksud harus sudah kembali ke tangan Indonesia. Masih dua tahun lagi dari batas waktu.
Sampai berjalan, Indonesia terus mengajak Singapura berunding. Singapura terus berlindung di balik keselamatan udara internasional. Singapura juga terus memperbaiki peralatan, sistem dan kemampuan operasionalnya. Internasional merasa lebih nyaman berada di tangan Singapura.
Kenyataan itu membuat Indonesia tidak mudah: bukan saja harus meyakinkan Singapura, tetapi juga masyarakat penerbangan sipil internasional. Yang bagi mereka keselamatan adalah segala-galanya.
Sistem kontrol udara yang berlaku di Indonesia masih terbagi dua: wilayah barat dan timur. Ketika merancang sistem pun hanya sebatas untuk melayani wilayah yang menjadi tugas Indonesia.
Udara di atas Batam, Bintan sampai Natuna, tidak dimasukkan: toh sudah ditangani Singapura.
Kita tentu tidak bisa merebut kedaulatan tersebut dengan hanya bermodal emosi. Kita harus memperbaiki dulu kualitas sistem kita.
Maka saya ingat pada tahun tertentu disetujui penggunaan anggaran Rp 100 miliar. Yakni untuk perbaikan sistem dan peralatan kontrol udara wilayah barat. Yang mampu sekalian menangani udara yang harus kita rebut.