MPR Masih Jadi Harapan Sebagai Rumah Kebangsaan
Menurutnya, memang istilah rumah kebangsaan tidak ada di konstitusi atau aturan yang mendasari kelembagaan MPR itu. Dia menegaskan, kalau mau MPR menjadi rumah kebangsaan maka harus ada pijakan konstitusionalnya. Misalnya, bagaimana memperkuat kelembagaan MPR.
Dia menegaskan, memperkuat kelembagaan MPR itu bukan berarti harus mengembalikan kewenangan memilih dan memberhentikan presiden. Menurut dia, yang penting adalah bagaimana MPR bisa menjadi pemutus segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat.
“Kalau hanya sekadar mendiskusikan semata memang tidak ada efeknya. Jadi, harus ada upaya untuk menjadi pemutus sengketa atau apa, kan begitu,” katanya.
Arwani mengajak, menuju periode 2019-2024 isu-isu yang tidak substantif harus dikurangi. Misalnya, kata dia, soal rebutan pimpinan MPR.
“Coba mulai dari hal yang paling mendasar ini yang pertama kali diselesaikan melalui cara musyawarah,” katanya.
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte mengatakan tugas MPR sudah tidak terlalu politik setelah amendemen UUD 1945. Artinya, ujar dia, banyak persoalan politik yang diselesaikan oleh DPR maupun DPR.
“Maka menurut saya MPR itu tugasnya harus menjadi mercusuar kebangsaan. Jadi MPR menjadi payung dari DPR, DPD, sehingga jadi mercusuar terhadap persoalan-persoalan yang sifatnya kebangsaan,” katanya di kesempatan tersebut.
Dia sepakat bahwa diperlukan figur pimpinan seperti Taufiq Kiemas yang bisa menjembatani segala persoalan kebangsaan.(boy/jpnn)