Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

MUI dan Islamisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 10 Maret 2022 – 14:30 WIB
MUI dan Islamisme - JPNN.COM
Majelis Ulama Indonesia. Foto: dok.JPNN

Kelompok kampret secara serampangan disebut sebagai kelompok politik aliran atau politik identitas karena memainkan isu-isu agama. Sebutan islamisme atau ‘’political Islam’’ juga ditempelkan secara serta-merta, dan lebih terasa sebagai stereotyping dan labelling yang mendiskreditkan.

Polarisasi yang tajam itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam lanskap politik Indonesia. Kekalahan yang dialami kelompok nasionalis begitu mendalam dan masif sampai membawa bekas yang panjang. Kedua kubu sama-sama tidak bisa ‘’move on’’ dan persaingan menjadi ‘’drag on’’ berlanjut terus.

Episode persaingan kedua berlanjut pada pilpres 2019 dengan skala yang lebih luas. Kubu Jokowi sangat mengantisipasi gelombang islamisme dan politik identitas, dan memutuskan untuk melamar Kiai Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden.

Pengamat politik Australia Ben Bland menyebut tindakan Jokowi ini sebagai bukti bahwa Jokowi adalah manusia yang kontradiktif, ‘’Man of Contradictions’’ (2020). Di satu sisi ia mengecam politik aliran, tetapi di sisi lainnya ia memainkan politik aliran dengan merangkul Ma’ruf Amin sebagai ‘’running mate’’.

Jokowi juga dianggap pragmatis dan tidak terlalu teguh dalam menghadapi gerakan politik identitas, sehingga ‘’melepas’’ Ahok dan mengorbankannya untuk masuk penjara selama dua tahun. Ahok menjadi tumbal untuk menyelamatkan nasib politik Jokowi dari serangan kalangan islamis.

Jokowi-Ma’ruf memenangi pilpres 2019 melawan Prabowo-Sandi melalui kemenangan yang tipis dan tidak meyakinkan. Kemenangan sekitar 52 persen tidak cukup memberi legitimasi mutlak kepada Jokowi untuk melakukan ‘’political vendetta’’, dendam politik, terhadap Islam politik.

Namun, itulah yang dilakukan oleh Jokowi. Sejak tahun pertama kemenangannya Islam politik menjadi target operasi. MUI yang disebut sebagai salah satu benteng islamisme segera dibersihkan. Kelompok Din Syamsudin dibersihkan untuk memberi tempat kepada Kiai Miftachul Akhyar yang apolitis. Posisi Din sebagai ketua dewan pertimbangan diganti oleh Kiai Ma’ruf Amin.

Perburuan terhadap gerakan islamisme dilakukan Jokowi dengan membubarkan FPI (Front Pembelas Islam) dan memenjarakan tokoh-tokohnya seperti Habib Rizieq Shihab dan Munarman. Sebelumnya, pada 2017 Jokowi sudah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap anti-Pancasila karena memperjuangkan khilafah.

MUI masih sering menyuarakan sikap yang tidak sejalan dengan keinginan rezim, vokal terhadap kebijakan rezim.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News