Nasib Honorer K2, Ditaburi Harapan Jelang Pesta Rebutan Kekuasaan, Lantas Ditinggalkan
Anehnya, untuk daerah dipaksakan merekrut PPPK khusus jabatan guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh. Sebab, tiga formasi itu merupakan jabatan fungsional. Artinya, pemerintah melakukan kebijakan aneh. Pasalnya, jabatan fungsional ini harus ditentukan presiden melalui Perpres. Sementara Perpres tentang jabatan apa saja yang bisa diisi PPPK, belum terbit.
Salah satu Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Didi Supriyadi juga terang-terangan mengkritisi kebijakan PPPK. Dia juga mendukung langkah honorer yang menolak PPPK lantaran kebijakan tersebut belum jelas.
"Ini barang belum jelas alat kelaminnya tapi dipaksakan untuk dilaksanakan. Akibatnya daerah dan honorer yang jadi korban. Sebab, pusat beralasan NIP belum bisa diproses karena daerah. Padahal, Perpresnya saja belum ada, bagaimana bisa daerah yang disalahkan," kritiknya.
Belum lagi selesai masalah PPPK, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberikan angin surga berupa janji gaji guru honorer akan naik di 2020. Sembari menunggu guru PPPK, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan tenaga pendidik lewat perubahan gaji.
Jika selama ini gaji guru honorer hanya Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan karena diambil dari dana BOS. Mulai 2020, naik setara UMR karena sumber dananya masuk DAU.
Janji manis semanis permen ini sepertinya untuk merayu guru honorer yang sudah berada di batas ambang kesabaran. Sudah dipaksa ikut tes PPPK tapi masih bergaji honorer.
Kalau ternyata benar, gaji guru honorer akan masuk DAU dan naik di 2020, bagaimana dengan K2 lainnya? Sepertinya kebijakan ini justru akan menimbulkan masalah baru. Sesungguhnya, honorer K2 bukan hanya guru, tapi ada profesi lainnya yang juga mengabdi belasan hingga puluhan tahun.
Apakah ini yang disebut pemerintah telah menyodorkan solusi terbaik bagi honorer K2? Atau jangan-jangan honorer K2 yang benar, bahwa ini justru jebakan Batman bagi mereka. (esy/jpnn)