Nilai Budaya Simalungun Dalam Perjuangan Tuan Rondahaim
Oleh: Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha - Pendeta GKPS dan Budayawan SimalungunMaksudnya, “lebih baik masih tersisa sedikit tali daripada putus sama sekali”. Untuk tujuan ini Rondahaim menerapkan sistem kolektif dalam mempersiapkan ransum untuk prajurit Raya.
Rakyat dimobilisasi sedemikian rupa sehingga Belanda terkecoh. Pada siang hari rakyat berlaku sebagai petani untuk persiapan perang, tetapi pada malam hari rakyat Raya berlaku sebagai prajurit gerilya menyerang posisi pasukan Belanda dan Sultan Deli di Padang Hulu. Siasat ini disebut “munsuh borngin”.
Dalam rangka ini pula, Rondahaim menggalakkan peternakan kuda untuk transportasi perang yang cepat dan murah di seluruh Kerajaan Raya.
Dengan pasukan berkudanya, pasukan Rondahaim dapat bergerak dengan lebih cepat dan tangkas berperang menaklukkan musuh. Pasukan berkuda Tuan Rondahaim ini terkenal dengan ketangkasannya hingga menciutkan nyali pasukan musuh.
Senjata api dan meriam diperoleh dari barter dengan saudagar senjata dari Malaka. Hasil bumi Raya dibarter dengan senjata itu.
Selain itu Rondahaim juga mengusahakan senjata api rakitan sendiri di antara prajuritnya, sehingga peralaan perang Tuan Rondahaim terlengkap dibanding perlengkapan perang raja-raja Simalungun yang lain. Semua pemakaian alat perang itu dipantau oleh Tuan Rondahaim melalui panglima-panglimanya yang membawahi beberapa kelompok prajurit terlatih.
4. Nilai budaya solidaritas, “sauyun, sapangahapan ibani ganupan na masa”
Tuan Rondahaim adalah sosok pemimpin yang bukan hanya sibuk di meja atau istana. Tuan Rondahaim sosok pemimpin yang merakyat, yang sering turun ke kampung-kampung dan medan tempur mendampingi bahkan kadang-kadang memimpin sendiri pasukan tempurnya melawan Belanda.