Oligarki Musuh Bersama
Oleh: Lukman Hakim, Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)Kaum satu persen itulah yang dinamakan oligarki (baca: kaum cukong). Sedangkan oligarki adalah suatau sistem di mana segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dan mempunyai kemampuan menentukan kebijakan politik.
Mereka berhasil menguasai struktur dan instrumen demokrasi dan politik dari semua lini. Pemilu sebagai pintu masuk oligarki, sedangkan parpol menjadi media oligarki untuk mendominasi sistem politik.
Pada akhirnya, parlemen didominasi oleh pengusaha dan kaki tangan oligarki. Penelitian Marepus Corner bertajuk 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia' (2020) menemukan, sebanyak 55 (318 orang) persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor.
Sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik perusahaan dan 25 persen menjabat sebagai direktur atau wakil direktur dan 36 persennya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha. Baru-baru ini oligarki terus berkonsolidasi melalui poros politik yang diisisi oleh parpol-parpol pendukung pemerintah (poros istana) dan parpol di luar pemerintahan (poros oposisi).
Demokrasi dibajak oligarki, demikian kesimpulan banyak kalangan. Demokrasi berjalan prosedural dan semu. Selain menghasilkan para anggota dewan nirkualitas dan pejabat korup, demokrasi berjalan diatas suara rakyat yang terabaikan. Data Perludem menyebutkan ada sekitar 13 juta suara sah yang sia-sia karena tak terwakili di DPR karena adanya ambang batas parlemen.
Di tingkat bawah politik transaksional terus dipelihara di tengah situasi kemiskinan di akar rumput, yang kemudian menyuburkan budaya patron klien. Inilah massa mengambang yang diinginkan dan disukai oleh oligarki. Rakyat dibuat muak terhadap politik, apolitis. Namun dapat dibeli suaranya setiap pemilu.
Oligarki juga mengakibatkan ketimpangan ekonomi makin dalam. Survei Persepsi yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (2020), menguak fakta sebanyak 91,6 persen responden mengakui distribusi pendapatan tergolong “cukup tak setara” dan “tak setara sama sekali”. Hal ini konsisten di seluruh lintas kelompok responden, mulai dari gender, pendapatan, pendidikan, usia, dan lokasi (kota/desa).
Terkait perubahan pendapatan dalam lima tahun terakhir, persepsi masyarakat mencerminkan ketimpangan ekonomi di Indonesia masih dalam.