Oposisi Dalam Demokrasi Pancasila
Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI PerjuanganDalam model mayoritarian seperti Inggris, partai oposisi akan menjalankan perannya langsung berhadap-hadapan (adversarial) dengan pemerintah, karena pemerintah sebagai pemegang kekuasaan bercirikan eksklusif, kompetitif, adversarial, sebagaimana di beberapa negara-negara yang menganut sitem pemerintahan parlementer dengan sistem dwipartai.
Berbeda dengan di negara-negara yang menganut model demokrasi konsensus, pemegang kekuasaan bercirikan inklusif, tawar menawar (bargaining), dan kompromis, sehingga akan sulit untuk mengidentifikasi peran partai oposisi yang dianggap menentukan kebijakan pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada peran partai oposisi di Amerika Serikat.
Dalam kasus-kasus tertentu Partai Republik dan Partai Demokrat dapat saling berhadap-hadapan, tetapi upaya kompromi di Senate maupun House of Representative tetap dapat dilakukan. Sebab ada peluang untuk menegosiasikan berbagai kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Konteks Demokrasi Pancasila
Kultur masyarakat Indonesia lebih mengedepankan cara-cara kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kultur ini kemudian yang memberi warna pada sistem politik di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama demokrasi Pancasila.
Walaupun dalam demokrasi secara umum akan selalu muncul pilihan antara oposisi dan koalisi untuk mengharapkan pemerintah kuat dan demokratis. Tetapi oposisi dalam realita belum tentu bisa terbentuk dalam sistem perpolitikan di Indonesia yang lebih mengedepankan cara-cara kekeluargaan dan gotong royong serta memiliki demokrasi Pancasila yang berasal dari keluhuran dan kultur bangsa Indonesia.
Salah satu nilai dalam Pancasila yang paling dekat dengan demokrasi adalah sila keempat yaitu permusyawaratan/kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.