Pakar Komunikasi Sebut Ada yang Mainkan Isu Konflik Israel-Palestina untuk Agenda Bisnis
jpnn.com, JAKARTA - Pakar Ilmu Komunikasi Satrio Arismunandar angkat bicara terkait adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memanfaatkan media untuk menggiring isu konflik Israel-Palestina menjadi bukan gerakan kemanusiaan, tetapi mengerucut ke arah boikot produk-produk pro-Israel.
Melihat fenomena ini, Satrio meminta agar media jangan cuma memainkan isu konflik Israel-Palestina hanya sekadar untuk sensasional atau lebih buruk lagi untuk kepentingan perang dagang.
“Saya curiga jangan-jangan ada media yang menjadi alat kepentingan perang dagang. Jadi, ada perusahaan-perusahaan tertentu yang mau menghantam perusahaan saingan dengan cara memainkan isu politik Israel Palestina ini untuk kepentingan bisnis mereka. Ini sangat menyedihkan sekali,” ujarnya.
Karenanya, dia meminta para media agar jangan sampai jadi alat seperti itu.
“Karena itu menyalahi prinsip dasar media sebagai yang harus membela kepentingan publik,” kata Satrio yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Jadi prinsipnya, lanjut Satrio, media itu tanggung jawab utamanya pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan lain, kepentingan pemerintah, kepentingan apa pun dan siapapun.
“Sebab, pengertian publik yang dilayani oleh media atau yang menjadi konsumen media adalah yang seperti itu,” tuturnya.
Kata Satrio, dalam konteks melayani kepentingan publik itu, media wajib memberikan pencerdasan atau pencerahan pada audiensnya. Dalam hal ini, media harus memberikan informasi secara utuh, lengkap, dengan perspektif yang jelas.
“Jadi, tidak memberikan informasi yang sifatnya cuma sepihak, cuma satu sudut saja, cuma menguntungkan kelompok tertentu saja, apalagi kalau kelompok itu hanyalah mereka yang terlibat dalam persaingan bisnis atau persaingan politik,” ucapnya.
Kalau tidak melakukan hal-hal itu, menurut Satrio, media prinsipnya hanya menjadi satu alat propaganda atau alat untuk perang dagang dan segala macam, dan itu bukan fungsi media. “Itu menyalahi fungsi media yang mendasar. Jadi, kembali ke peran utama adalah melayani kepentingan publik, memberi pencerdasan pada publik,” tukasnya.
Dalam kaitan dengan boikot, lanjut Satrio, seharusnya hal pertama yang harus dijelaskan oleh media adalah bahwa Majelis Ulama Indonesia tidak pernah memerintahkan boikot, bahkan sekalipun itu memerintahkan sebenarnya tidak wajib dituruti.