Pakar UI Sebut Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Membuat Regulasi Zat Kimia Berbahaya pada Kemasan Pangan
jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Ima Mayasari mengatakan kajian ilmiah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menyatakan zat kimia di dalam kemasan pangan berbahaya atau tidak bagi kesehatan.
Selain itu, juga dibutuhkan pandangan pakar di bidangnya terkait potensi bahaya zat tersebut.
“Dalam konteks kesehatan itu harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu dengan potensi bahaya dari zat-zat tersebut. Dalam konteks ini kan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk mengetahui dari faktor resikonya,” ujarnya.
Setelah melalui kajian dan penelitian, lanjutnya, hasilnya kemudian dicocokkan, apakah aturan-aturan yang ada sudah memenuhi atau tidak.
“Kalau kemudian dampaknya itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan itu belum ada pengaturannya, itu yang harus harus disesuaikan dari regulasinya. Namun, basisnya adalah tetap kajian berbasis resiko yang harus dilakukan terlebih dahulu,” ucapnya.
Jadi, menurutnya, semua itu harus melalui penelitian. Hal itu juga merujuk kepada yang namanya sekarang ini era kebijakan yang berbasis risiko. “Jadi, harus dilakukan kajian dan meminta pandangan-pandangan dari para ahli untuk mencari literatur-literatur terlebih dahulu sebelum melakukan kajian ilmiah,” katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Ningrum Natasya Sirait meminta agar regulator tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan saja, tetapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.
Dalam hal kebijakan BPOM, itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pakar Hukum Persaingan Usaha ini menjelaskan dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakannya, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ik, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
“Jadi, membuat peraturan itu nggak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampanglah pokoknya,” tukas Ningrum.
Dalam persaingan usaha itu ada yang namanya natural barrier to entry dan artificial barrier to entry. Yang natural, menurut Ningrum, itu harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan kebutuhan industri.
Namun, lanjutnya, yang artificial ini suka sekali ada regulasi-regulasi yang menjadikan orang ada beban untuk dia masuk ke dalam satu pasar.
Dia mencontohkan seperti kebijakan BPOM terkait pelabelan “berpotensi mengandung BPA” pada galon guna ulang. Menurutnya, kebijakan ini jelas akan menaikkan biaya dari industri yang menjual galon guna ulang. “Peraturan ini jelas akan menjadi satu level beban yang akan dihadapi pelaku usaha yang memproduksi air kemasan galon guna ulang,” tuturnya.
Kenapa kebijakan BPOM ini bisa terjadi, menurut Ningrum, itu karena berbagai lembaga dan kementerian belum banyak dibekali dengan apa yang disebut dengan competition checklist.
“Akibatnya, peraturan-peraturan itu akan menjadi beban bagi industri dan akan berdampak kepada daya saing suatu perusahaan karena dia memerlukan biaya produksi ini dan itu. Belum lagi bertanding soal iklan,” ucapnya.
Dia mengatakan membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatannya itu tidak salah. Tapi, lanjutnya, dampak peraturannya juga harus mempertimbangkan sisi persaingan usahanya yang dimunculkannya. “Dalam rangka kesehatan boleh-boleh saja untuk jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Tetapi, tetap harus dilihat juga dampaknya terhadap persaingan usaha,” katanya.
Baru-baru ini, beberapa pakar hukum hingga guru besar diberitakan menemui Wantimpres untuk mendesak agar pelabelan “berpotensi mengandung BPA” segera dilakukan terhadap kemasan air minum galon berbahan Polikarbonat.
Sementara, beberapa pihak melihat kebijakan ini terkesan diskriminatif dan mengandung unsur persaingan usaha.