Pandemi Makin Parah, Industri Tembakau Kembali Menuntut Kepastian Pemerintah
Ketua GAPPRI Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri. “Kita lihat saja sekarang ini produksi sudah turun, nanti bisa sangat berkurang lagi,” katanya ketika dihubungi.
Simplifikasi tarif cukai akan paling dirasakan oleh produsen tembakau golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang. Menurut Henry, jika kembali diberlakukan, di tengah pandemi, efek terbesar adalah hilangnya produsen tembakau. “Pasti yang akan berguguran duluan golongan II dan III, dan jika demikian, nanti rokok ilegal makin meningkat,” lanjutnya.
Ia juga meminta perlindungan pemerintah ke industri terus ada, termasuk rokok jenis kretek.
“Peraturan-peraturan yang menyebabkan industri ini makin terpuruk, misalnya ya, ancaman aturan simplifikasi dan kenaikan cukai yang eksesif. Ini akan terus mempengaruhi serapan bahan baku dari petani, mengganggu tenaga kerja, mengganggu pendapatan dari para pengecer atau penjual rokok, dan pendapatan negara dalam hal cukai dan perpajakan,” tegasnya.
Faktanya, tidak lama setelah Kementerian Keuangan menaikkan tarif rata-rata cukai rokok tahun 2020 sebesar 23 persen, jumlah rokok ilegal justru naik hampir 60 persen.
Survei terakhir Kementerian Keuangan menyebut, pada tahun 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020. Pola ini sangat mungkin terulang bahkan meningkat, ketika tarif cukai kembali naik 12,5 persen tahun 2021.
Secara terpisah, Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan cukai hasil tembakau memang jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting.
Tapi dia mengatakan, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan. Dampak yang paling mudah dilihat, katanya, adalah penurunan produksi yang sudah terlihat saat ini.