Parigi Moutong
Anggota polisi yang melakukan kekerasan itu mungkin berpikir bahwa ia melakukannya demi tugas negara. Ketika harus melakukan kekerasan, baik terpaksa maupun tidak terpaksa, maka hal itu dilakukan karena darma kepada negara.
Kekerasan yang terjadi terus-menerus dan dilakukan atas nama tugas menumbuhkan rasa banalitas terhadap kekerasan dan kejahatan.
Banalitas adalah sikap yang menganggap biasa terhadap kekerasan dan kejahatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut banal bermakna kasar, tidak elok, biasa sama sekali.
Dalam sejarah dunia, sikap banal terhadap kekerasan dan kejahatan melahirkan tragedi besar yang menelan korban ratusan ribu dan bahkan jutaan nyawa manusia. Wartawan dan filsuf Jerman, Hannah Arendt meliput pengadilan terhadap tokoh Nazi, Adolf Eichmann yang diadili di Jerusalem, Israel, pada 1961.
Eichmann diyakini bertanggung jawab terhadap pembunuhan masal terhadap orang-orang Yahudi di Eropa semasa kekuasaan Nazi di bawah Hitler. Eichmann didakwa melakukan eksekusi pembunuhan berencana secara masif, langsung, maupun melalui pembunuhan di kamar-kamar beracun.
Arendt melaporkan proses pengadilan itu di Majalah The New Yorker dan kemudian menerbitkannya menjadi buku ‘’Eichmann in Jerusalem’’. Dari buku itulah lahir teori banalitas kejahatan yang sampai sekarang diakui relevansinya dengan berbagai fenomena kekuasan kontemporer.
Atas kejahatannya itu Eichmann dijatuhi hukuman mati. Eichmann menolak segala dakwaan dan sama sekali tidak merasa bersalah atas kejahatannya. Ia merasa bahwa Israel tidak punya juridiksi untuk mengadilinya, dan ia hanya bertanggung jawab kepada pimpinannya, yaitu Adolf Hitler.
Eichmann merasa bahwa ia tidak perlu bertanggung jawab kepada hukum atau siapa pun, karena ia menjalankan tugas negara. Eichmann hanya bertanggung jawab kepada The Fuhrer Hitler sebagai pengejawantahan negara. Jerman di bawah fasisme Nazi menerapkan sistem negara integralistik yang tidak mengakui hak-hak individu dan menyerapnya menjadi hak kolektif atas nama negara.